Bisnis.com, JAKARTA - Pandemi Covid-19 telah mengubah paradigma bertransportasi warga kota-kota besar di seluruh dunia. Tak terkecuali Indonesia dan ibu kotanya, DKI Jakarta yang baru saja memulai masa transisi menuju normal baru.
Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia menilai Jakarta harus peka terhadap fenomena ini sebagai momentum menata sektor transportasi.
Harapannya, mobilitas masyarakat setelah pandemi tak lantas beralih lagi ke kendaraan bermotor pribadi, yang nantinya akan menyebabkan kemacetan lebih parah di jalanan Ibu Kota.
Faela Sufa, South-East Asia Director ITDP menilai inilah saatnya program seperti Jakarta Ramah Bersepeda digenjot implementasinya.
"Penyediaan jalur sepeda terproteksi, parkir sepeda, bike sharing dan mengizinkan sepeda untuk dapat masuk ke dalam transportasi publik di jam tertentu akan memberikan pilihan bagi masyarakat untuk bermobilitas sambil tetap dapat mengutamakan kesehatan," kata Faela, Jumat (5/6/2020).
Dia menambahkan bahwa saat ini kota-kota di dunia pun tengah berlomba-lomba menciptakan kebijakan yang mendukung pergerakan warga dengan terus menerapkan protokol kesehatan utamanya physical distancing.
Seperti kehadiran jalur-jalur sepeda sementara atau pop up bike lane yang diterapkan di Bogota, Paris, Meksiko, hingga Filipina, serta kenaikan jumlah pesepeda juga terlihat di kota-kota di Amerika Serikat dan Tiongkok.
"ITDP Indonesia memberikan 5 poin rekomendasi rencana aksi mobilitas perkotaan kepada pemerintah provinsi dan instansi-instansi terkait yang mencakup rekomendasi mengenai transportasi umum, fasilitas pejalan kaki, fasilitas bersepeda, kebutuhan ruang aktivitas warga dan manajemen pembatasan kendaraan pribadi," tambahnya.
Pertama, untuk transportasi umum dengan pengurangan kapasitas angkut dan layanan, bus Transjakarta harus difokuskan untuk mengurangi waktu tunggu penumpang guna menghindari panjang dan durasi antrean.
Oleh sebab itu, ITDP mengusulkan prioritas kapasitas transportasi publik saat ini baiknya hanya untuk para tenaga medis dan orang-orang yang bekerja di sektor esensial dengan penetapan protokol kesehatan seperti pengecekan suhu tubuh dan penyediaan hand sanitizer dan tempat cuci tangan.
Selain itu, menurut Faela, Transjakarta harus bertransformasi lebih canggih dengan integrasi jadwal dan penyediaan informasi real-time yang dapat diakses oleh publik terkait keadaan dan kepadatan di dalam bus/kereta dan stasiun.
"Informasi ini perlu diberitakan secara dinamis lewat aplikasi dan juga pemberitahuan langsung di lapangan melalui papan informasi dan komunikasi suara," ungkapnya.
Adapun, upaya lain yang bisa diterapkan Pemprov, yakni penangguhan biaya untuk operator mencakup biaya KIR, terminal, dan suku cadang, serta memastikan anggaran untuk subsidi (PSO) angkutan umum yang sesuai dengan jumlah permintaan penumpang.
Akomodasi Tren Bersepeda
Menurutnya, Jakarta perlu ikut mengimplementasikan pop-up bike lane atau jalur sepeda sementara pada koridor angkutan umum yang mengimplementasikan pembatasan kapasitas angkut.
Sementara koridor tersebut memiliki ridership yang tinggi pada kondisi normal, Jakarta juga bisa mengakomodasi sistem bike share sebagai penunjang transportasi tidak bermotor di daerah sekitar Jalan Sudirman dan Thamrin.
"Sediakan pula tempat parkir sepeda sementara di stasiun transit kota-kota satelit dan point of interest di DKI Jakarta sebagai fasilitas pendukung bagi penduduk yang menggunakan sepeda," jelasnya.
Selain itu, Jakarta bisa juga menerapkan kebijakan bike on board, di mana orang yang melakukan mixed commuting, dapat membawa sepeda ke dalam bus atau kereta dengan mengikuti ketentuan yang ditetapkan.
Baca Juga
Mempermudah Pejalan Kaki
Lebih lanjut, Faela menyatakan Transportasi umum selama transisi periode new normal perlu mengakomodasi para pejalan kaki dengan ketersediaan lebar ruang bebas pejalan kaki.
Sesuai peraturan Permen PU No 13/2014 adalah 1,5 meter, sementara untuk menerapkan jaga jarak fisik, dibutuhkan ruang bebas minimal sebesar 2,8 meter.
Oleh sebab itu, perlu ada identifikasi koridor angkutan umum/Transjakarta dengan jumlah penumpang yang tinggi, penentuan stasiun yang membutuhkan lebar tambahan trotoar yang tidak dapat menampung kebutuhan physical distancing pejalan kaki dengan memanfaatkan lajur kendaraan.
Dia mengatakan dibutuhkan juga penyediaan pop-up pedestrian pathway dengan menggunakan pembatas jalan sementara, dan pengadaan petugas untuk memastikan protokol physical distancing dan antrian berjalan dengan baik, dapat pula bekerja sama dengan Satpol PP.