Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah kini tengah mematangkan kebijakan normal baru (new normal) di dalam negeri. Hal itu ditegaskan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam diskusi dengan pemimpin redaksi media massa, Rabu (3/6/2020) malam.
Menurut Airlangga, kebijakan normal baru bertujuan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, sekaligus memutus mata rantai pemutusan hubungan kerja (PHK) di Tanah Air.
“Kami sedang matangkan kebijakan ini,” ujar Airlangga.
Hingga Rabu (3/6/2020), pemerintah mencatat adanya penambahan kasus baru pasien positif virus corona atau Covid-19 di Indonesia sebanyak 684 orang, sehingga total pasien terkonfirmasi positif Covid-19 menjadi 28.233 kasus.
Adapun, jumlah PHK di Tanah Air terus bertambah, seiring dengan langkah efisiensi yang dilakukan oleh berbagai perusahaan di dalam negeri di tengah kondisi yang tidak menguntungkan saat ini.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan per 1 Mei, jumlah pekerja sektor formal yang telah dirumahkan akibat pandemi Covid-19 sebanyak 1.032.960 orang dan pekerja sektor formal yang di-PHK sebanyak 375.165 orang.
Baca Juga
Untuk pekerja sektor informal yang terdampak Covid-19 sebanyak 314.833 orang. Dengan demikian, total pekerja sektor formal dan informal yang terdampak Covid-19 sebanyak 1.722.958 orang.
Demand Shock
Kebijakan normal baru tersebut, sambung Menko, juga telah mempertimbangkan beberapa hal termasuk di antaranya mengakomodasi rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
“Langkah tersebut juga telah ditempuh oleh sejumlah negara lainnya,” ujar Airlangga.
Menko juga menambahkan bahwa kebijakan new normal tersebut juga penting untuk memulai kembali (restart) kegiatan sosial ekonomi di tengah semakin bertambahnya PHK dan terjadinya demand shock yang kini telah berdampak pada supply shock.
Indikasi terjadinya demand shock tersebut telah terlihat dari data inflasi Mei 2020 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Selasa (2/6/2020), yang sebesar 0,07 persen secara bulanan.
Inflasi Mei tersebut terbilang rendah apabila dibandingkan dengan inflasi saat Idulfitri pada tahun lalu yang sebesar 0,55 persen.
Angka inflasi ini dinilai mencerminkan daya beli masyarakat yang tengah terperosok di tengah pandemi Covid-19.
Adapun, indikasi terjadinya supply shock juga terkonfirmasi dari data kinerja manufaktur di dalam negeri, yang terlihat dari Purchasing Manufacturing Index (PMI) Manufaktur Mei yang dirilis IHS Markit pada Selasa (2/6/2020).
Menurut data tersebut, kinerja manufaktur dalam negeri masih berat, karena berada di angka 28,6. Angka ini tidak mengalami kenaikan signifikan jika dibandingkan dengan April yang berada di angka 27,5.
Pada saat yang sama, sejumlah negara Asean lainnya berhasil naik signifikan dan bahkan beberapa di antaranya sudah berhasil menembus angka 40.