Bisnis.com. JAKARTA – Pemerintah dinilai perlu mengevaluasi proses perizinan impor gula, guna mengamankan pasokan dalam negeri ketika dibutuhkan.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Nasional (PIHPS), sejak awal April hingga Juni 2020, harga gula cenderung fluktuatif yakni di kisaran Rp17.000/kg-Rp18.000/kg. Angka ini melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah yaitu sebesar Rp 12.500 per kilogram.
Melihat kondisi tersebut, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap pengurusan izin impor untuk gula.
Menurutnya regulasi impor untuk komoditas pangan berbeda satu dengan lainnya. Namun ada beberapa kesamaan yang berhubungan dengan rekomendasi dan izin impor. Hal inilah yang perlu dievaluasi mengingat banyaknya prosedur yang harus dilalui untuk mendapatkan izin impor.
Berbeda dengan komoditas lainnya, impor gula baik dalam bentuk gula mentah maupun gula kristal putih didasarkan pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.14/2020. Dalam aturan itu gula kristal putih hanya bisa diimpor oleh oleh BUMN setelah mendapat penugasan dan kuota dari Kemenko Perekonomian. Proses ini dapat berlangsung dalam waktu yang tidak sebentar karena proses impor yang dilakukan oleh BUMN membutuhkan persetujuan lewat rapat terbatas atau rapat koordinasi.
Sementara itu, gula mentah untuk gula Kristal rafinasi, hanya bisa diimpor industri untuk bahan baku sendiri berdasarkan surat rekomendasi dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Rekomendasi ini didapat setelah importir menyerahkan beberapa persyaratan, seperti laporan rencana produksi, laporan realisasi dan laporan pemakaian. Selain itu, industri juga harus membuat surat pernyataan untuk tidak memasukkan gula mentah atau gula rafinasi ke pasar dalam negeri.
Baca Juga
Terakhir, importir umum hanya dapat mengimpor gula mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih oleh pabrik gula di Indonesia. Penentuan jumlah gula mentah yang dapat diimpor juga disepakati dalam rapat koordinasi antar kementerian/lembaga.
Setelah transaksi, lanjut Felippa, importir harus mendapatkan Laporan Surveyor (LS) mengenai komoditas yang diimpornya sebagai dokumen kelengkapan kepabeanan. Setelah komoditas yang diimpor masuk ke Indonesia, imporit masih harus melewati pemeriksaan dari BPOM dan bea cukai. Semua proses ini dapat berlangsung dalam waktu yang tidak singkat, antara satu hingga tiga bulan.
“Panjangnya proses ini tidak jarang dapat membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk mengimpor saat harga internasional sedang murah. Kalau dikaitkan dengan pandemi Covid-19, Indonesia tentu tidak menyangka negara-negara sumber impor gula, misalnya saja India, sudah membatasi bahkan melarang adanya kegiatan ekspor akibat adanya kebijakan karantina wilayah atau lockdown,” terangnya dalam siaran persnya, Rabu (3/6/2020).
Dia menilai apabila proses importasinya lebih sederhana, realisasi impor gula tentu akan lebih cepat dan harga akan tetap stabil.
Dia melanjutkan, komoditas pangan strategis bahkan membutuhkan persetujuan pemerintah lewat rapat koordinasi atau rapat terbatas, misalnya saja untuk beras atau gula. Belum lagi setelah barang sampai, dia masih harus melewati serangkaian proses pemeriksaan. Padahal stok sudah menipis dan harga di pasar sudah tinggi.
“Pergerakan harga sebaiknya dapat dijadikan sebagai parameter ketersediaan komoditas pangan di pasar. Kenaikan harga beberapa komoditas pangan sejak awal tahun lalu seharusnya sudah bisa dijadikan indikator perlunya dilakukan impor, terlebih jelang Ramadan dan Idulfitri,” jelasnya.