Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Batu Bara Minta Relaksasi Pembayaran Royalti

Pandemi corona telah menekan keuangan para pengusaha batu bara. Untuk itu Asosiasi Pertambangan Baru Bara Indonesia (APBI) mengusulkan adanya relaksasi terhadap pembayaran royalti batu bara.
Seorang pekerja berjalan di atas tumpukan batu bara di Indonesia./Bloomberg-Dadang Tri
Seorang pekerja berjalan di atas tumpukan batu bara di Indonesia./Bloomberg-Dadang Tri

Bisnis.com, JAKARTA – Para pengusaha tambang meminta adanya relaksasi pembayaran royalti batu bara di tengah tekanan yang muncul akibat wabah Covid-19. 

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Baru Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan di saat kondisi pasar yang kelebihan pasokan sehingga harga komoditas terus tertekan, perusahaan mengalami kesulitan dalam mengelola cash flow. Hal itu menurutnya terjadi akibat semakin melebarnya disparitas selisih antara harga patokan batubara (HPB) dengan harga jual batubara FOB aktual. 

"Banyak pembeli lebih prefer harga jual menggunakan acuan harga sesuai indeks atau dikenal dengan istilah index-linked," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (28/5/2020). 

Adapun, berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 1823 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanan Pengenaan, Pemungutan, Dan Pembayaran/Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Mineral dan Batubara, untuk pembayaran royalti ke negara harus mengacu kepada HPB.

Menurut Hendra, dengan kondisi pasar seperti ini, harga jual aktual batubara semakin rendah sehingga perusahaan terbebani dengan selisih tersebut yang menjadi kewajiban yang harus dibayar. 

"Adapun selisih antara Harga Jual Aktual dengan HPB yang dialami anggota kami bahkan ada yang mencapai US$5 per ton," katanya. 

APBI meminta agar pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM merevisi Keputusan Menteri ESDM No. 1823 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanan Pengenaan, Pemungutan, Dan Pembayaran/Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Mineral dan Batubara.

"Kami APBI telah mengajukan surat permohonan ke Menteri ESDM minta dukungan agar perusahaan bisa survive di masa Pandemi pemerintah merevisi beleid itu," ucap Hendra. 

Revisi yang diusulkan berupa perubahan formula penghitungan royalti untuk sementara, di mana pembayaran royalti ke pemerintah menggunakan harga jual aktual yangumumnya menggunakan index-linked.

"Jadi bukan dengan sistem sekarang yaitu menggunakan Harga Patokan Batubara (HPB), karena trend harga yang terus menurun akibat oversupply. Perusahaan menanggung beban keuangan yang berat karena HPB lebih tinggi dari harga jual aktual, bahkan ada yang bisa mencapai  US$5 per ton," tuturnya.

Selain itu, APBI juga mengusulkan adanya revisi sementara keputusan Menteri ESDM terkait sistem pembayaran royalti agar dapat dilakukan paling tidak sebulan sesudah pengapalan. Pasalnya, dalam beleid itu diatur pembayaran royalti dilakukan sebelum pengapalan.

"Perusahaan juga kesulitan cash flow karena pembayaran royalti harus disetor sebelum pengapalan, sedangkan sebelumnya penyetoran royalti ke negara bisa dilakukan 1 bulan setelah pengapalan. Paling tidak yang diharapkan oleh pelaku usaha agar relaksasi aturan ini berlaku untuk sementara sekitar 6 bulan agar perusahaan bisa survive di tengah kondisi pandemi covid-19," terang Hendra. 

Dia menambahkan meskipun dalam kondisi sulit saat ini, kalangan pengusaha tambang sejauh ini belum mengusulkan perubahan atau pengurangan tarif royalti atau penundaan pembayaran royalti.

Kendati demikian, dia menilai tarif royalti terutama untuk para pemegang izin Perjanjian Karya Pertambangan Baru Bara (PKP2B) sebesar 13,5 persen membuat Indonesia tidak kompetitif dalam berkompetisi dengan eksportir batubara dari negara lain seperti Australia dan Rusia.

Namun, di sisi lain, pihaknya juga memahami kondisi keuangan negara yang sedang sulit dan PNBP dari subsektor batubara yang mancakup 80 persen dari PNBP sektor minerba juga sangat penting.

Meski dalam kondisi yang sulit dan tarif royalti untuk PKP2B tidak kompetitif, pihaknya tetap berkeinginan untuk berkontribusi terhadap penerimaan negara.

"Ada yang 0 persen royalti, intinya 13,5 persen itu tidak kompetitif sebenarnya," ujar Hendra. 

Untuk diketahui, penghitungan royalti untuk pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Kontrak Karya (KK) yakni jumlah tonase dikali harga jual dikali tarif dalam PP nomer 81 tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Yanita Petriella
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper