Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengenal Perovskite, Mineral Energi Listrik Masa Depan

Setelah ditemukan pertama kali oleh Gustav Rose pada 1839, penelitian perovskite yang tergolong rare earth elements (REE) ini baru dilakukan pada 1926 oleh Victor Goldschimdt.
Petugas sedang melakukan pengecekan di sebuah pembangkit listrik tenaga surya. Istimewa/ PLN
Petugas sedang melakukan pengecekan di sebuah pembangkit listrik tenaga surya. Istimewa/ PLN

Bisnis.com, JAKARTA – Lebih dari 150 tahun sejak Gustav Rose menemukan senyawa kimia yang disebut kalsium titanium oksida (CaTiO3) di sekitar Pegunungan Urals. Saat ini, CaTiO3 atau perovskite menjadi mineral baru energi listrik masa depan.

Setelah ditemukan pertama kali oleh Gustav pada 1839, penelitian rare earth elements (REE) ini baru dilakukan pada 1926 oleh Victor Goldschimdt. Riset yang dilakukan oleh Universitas Oxford (2018), menyebutkan tingkat efisiensi pemanfaatan perovskite hingga menyentuh angka 25 persen bahkan pada Desember 2018 bisa mencapai 28 persen.

Hingga saat ini, para ilmuan masih mengembangkan riset tersebut untuk dikomersilkan secara masal sejak diteliti pada 2012.

Dikutip artikel Perovskite Untuk Energi Bersih dari laman Clean Energy Institute, University of Washington, para ilmuan telah memanfaatkan perovskite untuk membuat semikonduktor yang sifatnya mirip silikon.

Silikon sendiri, telah menjadi bahan semikonduktor utama yang diundakan dalam sel surya sejak 1950-an, karena sifatnya selaras dengan spektrum sinar matahari dan relatif berlimpah stabil.

Beberapa kali peneliti perovskite mendorong efisiensi konversi dengan mengkarakterisasi cacat yang ada pada senyawa kimia ini. Jika ilmuan dunia menemukan cara pemanfaatan perovskite lebih optimal, maka hal ini akan sangat menguntungkan Indonesia.

Bagaimana tidak, meningkatnya konsumsi energi seiring menipisnya cadangan energi fosil mendorong berbagai ilmuan untuk memecahkan solusi dalam mencapai pemenuhan kebutuhan energi.

Kementerian ESDM menilai perovskite mampu menjawab masalah krisis energi terutama bagi negara-negara tropis, seperti Indonesia.

Mineral perovskite mampu dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pemanfaatan pembangkit berbasis tenaga surya. Perovskite memiliki tingkat efisiensi penyerapan matahari maupun fleksibilitas biaya dibandingkan panel photo voltaic (PV) yang berbasis kristal silikon.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi menjelaskan, potensi pengembangan energi surya di Indonesia sangat besar, tercatat Indonesia memiliki potensi energi surya sebesar 207,8 Giga Watt Peak (GWp) dengan realisasi mencapai 0,15 GWp.

Tahun ini, tambahan kapasitas pembangkit EBT ditargetkan sebesar 933 MW dengan PLTS sebesar 78 MW. Oleh karena itu, pemerintah berupaya mendorong pemanfaatan energi surya secara optimal dengan melibatkan seluruh stakeholder.

"Penggunaan energi surya sebagai green energy menggunakan clean technology harus menjadi pilihan dan prioritas bagi kita untuk mendukung sustainability," kata Agung dalam keterangan pers yang dikutip dari laman Kementerian ESDM, Senin (18/5/2020).

Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina EP Nanang Adbul Manaf ikut angkat suara soal pengembangan perovskite. Menurutnya, penemuan perovskite dapat menjanjikan hasil yang lebih baik sehingga bisa menjadi andalan yang dapat mengalahkan atap panel dari sisi efisiensi.

"Ada kelemahan utama dari Silicon PV panel, yaitu sangat tidak efisien, pencapaian efisiensinya hanya sekitar 7-16 persen saja, dan tergantung kepada orientasi penempatan serta kondisi cuaca," katanya.

Nanang mengatakan panel-panel dengan lapisan-lapisan film tipis Perovskite dapat menyerap cahaya dari panjang gelombang yang kisarannya sangat lebar dan lebih produktif menghasilkan listrik dibandingkan dengan silikon PV panel.

Meneurutnya, pemanfaatan matahari di Indonesia sebagai sumber energi dinilai Nanang sebagai langkah yang tepat. "Setiap jam, matahari memberikan energi sebesar 430 quintillion (10 pangkat 18) Joules dan lebih dari 410 quintillion (10 pangkat 18) Joules telah dikonsumsi sepanjang tahun," tambahnya.

Di sisi lain, International Energy Agency (IEA) menyebut, tenaga surya telah menyuplai sekitar 592 Giga Watt atau hanya sekitar 2,2 persen saja dari pemakaian tenaga listrik dunia sebesar 26,571 Giga Watt pada 2018.

Setelah maraknya pemasangan Photovoltaic (PV), maka pemakaian tenaga surya meningkat menjadi 100 Giga Watt atau 20 persen dari pemakaian listrik dunia. Lebih dari 90% pemasangan panel photovoltaic (PV) dibuat dari Kristal silicon.

Dengan adanya pemakaian tenaga surya, harga listrik pembangkit tenaga surya pun semakin kompetitif. Berdasarkan laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), pembangkit tenaga surya sudah sangat kompetitif dibandingkan dengan pembangkit dari energi fosil, seperti dari minyak, gas dan batu bara, dengan rata-rata harga listrik turun sekitar 75 persen atau dibawah 10 cent USD/KWh.

"Tentunya hal ini merupakan babak baru kehidupan manusia, mulai meninggalkan sumber energy fosil yang telah berlangsung lebih dari satu abad. Selamat datang Perovskite," tegas Nanang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper