Bisnis.com, JAKARTA – Bisnis kafe dan restoran yang mengandalkan penjualan lewat layanan makan di tempat (dine-in) diperkirakan bakal sulit pulih bahkan setelah pandemi Covid-19 berhasil ditanggulangi.
Perubahan perilaku konsumen di tengah kekhawatiran akan risiko terpapar virus menjadi penyebab mengemukanya ramalan tersebut.
Riset McKinsey & Company menunjukkan bahwa 58 persen konsumen Indonesia memilih untuk mengurangi frekuensi dine-in selama pandemi. Survei tersebut menyebutkan ketika wabah Covid-19 ditanggulangi, 28 persen konsumen menyatakan tetap memilih mengurangi frekuensi makan di restoran atau kafe secara langsung.
Kondisi yang cukup berbeda terjadi di China. Survei tersebut memperlihatkan bahwa selama pandemi 71 persen konsumen memang cenderung mengurangi frekuensi dine-in. Kendati demikian, 25 persen konsumen menyatakan akan menambah frekuensi dine-in saat Covid-19 usai.
"Ada dampak jangka panjang yang berimbas pada restoran lokal dan yang menyajikan layanan cepat. Hal ini terjadi pula pada restoran-restoran di pusat perbelanjaan," papar Partner and Co-Leader of Consumer Packaged Goods and Retail Practices in Southeast Asia McKinsey & Company Simon Wintels dalam diskusi daring pada Senin (18/5/2020).
Simon menjelaskan kondisi ini turut dipengaruhi oleh munculnya beragam opsi bagi konsumen dalam memperoleh makanan dan minuman, seperti pemesanan bahan-bahan pokok (groceries) secara daring untuk dimasak di rumah dan pembelian produk-produk makanan siap masak dan siap makan.
Baca Juga
Hal ini sejalan dengan perubahan perilaku konsumen Indonesia yang mulanya lebih memilih belanja secara langsung di pasar tradisional dan toko swalayan lokal menjadi lebih ke pembelian secara daring.
" Jika melihat kebiasaan belanja masyarakat Indonesia, kami melihat masyarakat Indonesia sangat aktif berbelanja di luar secara langsung, terutama ke pasar tradisional, toko lokal, dan pasar basah. Ketika ditanyai mengenai frekuensi setelah pandemi, sekitar 46 persen responden menyatakan akan mengurangi pembelian ke pasar tradisional," papar Simon.
Aktivitas belanja melalui aplikasi memperlihatkan tren kenaikan. Komposisi awal belanja daring dengan frekuensi tinggi sebelum pandemi tercatat hanya mencakup 24 persen narasumber. Dalam riset McKinsey, saat ini komposisi tersebut meningkat menjadi 36 persen.
Hal serupa terjadi pada belanja daring melalui marketplace yang komposisinya naik dari 25 persen menjadi 40 persen.
Ali Potia, sesama Partner di McKinsey & Company, menjelaskan bahwa lambannya pemulihan aktivitas dine-in turut dipengaruhi oleh kebijakan physical distancing yang dikampanyekan di berbagai negara. Konsumen pun cenderung tak ingin mengambil risiko terpapar virus sehingga mengurangi frekuensi makan di restoran atau kafe.
Pemulihan yang lamban pun diperkirakan akan terjadi pada segmen produk-produk konsumsi seperti pakaian, sepatu, dan perhiasan. Data McKinsey memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia akan lebih berhati-hati dalam mengalokasikan pengeluarannya.
Pengeluaran di berbagai segmen diperkirakan akan turun kecuali pada kebutuhan pokok, hiburan, snack, alat-alat pribadi (personal care), dan peralatan rumah tangga.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, Ali memberi saran bagi dunia usaha untuk mempertimbangkan inovasi agar dapat menyesuaikan perilaku konsumen usai pandemi.
Dalam bisnis makanan dan minuman misalnya, dia mengatakan pelaku usaha bisa mengambil pendekatan untuk menjual produk-produk dalam kemasan yang bisa diolah secara mandiri oleh konsumen.