Bisnis.com, JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan sudah siap dengan dinamika yang muncul apabila ada pihak dari negara mitra yang keberatan dengan pengenaan pajak atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Direktur Perpajakan Internasional DJP John Hutagaol mengatakan sengketa pajak lazimnya bisa diselesaikan melalui mutual agreement procedure (MAP), terutama dengan negara yang sudah terjalin perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan Indonesia.
"Indonesia sudah berpengalaman menangani sengketa pajak baik transfer pricing maupun tidak melalui MAP dengan banyak negara Mitra seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, China, Belanda, Belgia, Amerika Serikat, dan Singapura," kata John, Rabu (1/4/2020).
Adapun munculnya klausul mengenai pengenaan pajak atas PMSE bertujuan untuk memberikan perlakuan yang sama antara pelaku usaha PMSE lokal maupun asing serta menghasilkan tambahan penerimaan pajak.
Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020 memasukkan klausul Omnibus Law Perpajakan terkait PMSE.
Dua klausul terkait PMSE yakni pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas pemanfaatan barang kena pajak (BKP) tidak berwujud serta jasa kena pajak (JKP) dari luar daerah pabean serta pengenaan pajak penghasilan (PPh) atau pajak transaksi elektronik (PTE) bagi subjek pajak luar negeri yang memenuhi significant economic presence.
Baca Juga
"Perlakuan pajak atas PMSE ini mulai berlaku sejak diumumkan dan berikutnya akan diikuti dengan aturan pelaksanannya berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan," kata John.
Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji mengatakan klausul tersebut relevan untuk diberlakukan saat ini untuk menjamin kesetaraan pelaku usaha PMSE dalam negeri dan luar negeri agar tidak terjadi ketimpangan perlakuan pajak.
Akibat Covid-19, aktivitas perekonomian semakin banyak bergeser ke aspek digital sehingga secara otomatis penggunaan penyelenggara PMSE luar negeri juga meningkat,
"Nah, harusnya ini juga selaras dengan kepatuhan dan pembayaran pajak kepada Indonesia sebagai negara pasar," kata Bawono, Rabu (1/4/2020).
Di tengah prospek penerimaan pajak yang melemah, pemerintah memang perlu mencari sumber penerimaan baru sehingga penerimaan pajak dari kegiatan pelaku usaha PMSE luar negeri di Indonesia bisa menjadi sumber. Selama ini, pengenaan pajak atas pelaku-pelaku luar negeri tersebut belum optimal karena kendala pada ketentuan perpajakan kita sendiri.
Perlu diketahui, saat ini pengenaan pajak atas PMSE terutama atas penghasilan masih belum mencapai konsensus dan masih menjadi pembahasan di OECD.
Berkaca pada dinamika di dunia internasional pada tahun lalu, pengenaan PPh ataupun pajak sejenisnya secara unilateral berujung pada retaliasi dari negara lain.
Bawono mengatakan apabila dibaca secara mendetail, Perppu No. 1/2020 masih mengupayakan pengenaan pengenaan PPh. PTE baru dikenakan apabila pengenaan PPh tidak memungkinkan.
Dengan ini, Indonesia sesungguhnya masih memberikan ruang pemungutuan PPh secara ketentuan umum maupun pemungutan yang sejalan dengan konsensus global.
Meski demikian, dirinya juga memandang aksi unilateral dalam mengenakan pajak atas PMSE luar negeri pada akhirnya adalah sesuatu yang sulit untuk dihindari.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan pengenaan pajak atas PMSE ini cukup beralasan di tengah Covid-19, apalagi pemanfaatan platform di tengah wabah meningkat.
"Meski demikian, di tatatan implementasi perlu dipikirkan mekanisme yang efektif dan keselarasan dengan global framework OECED yang akan dituntaskan," ujar Yustinus, Rabu (1/4/2020).
Di satu sisi, Yustinus juga meragukan pemerintah akan segera mengimplementasikan pajak atas PMSE secara cepat.