Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha di sektor properti berharap pemerintah tak hanya memikirkan aktivitas ekonomi tetapi juga berjalannya proyek-proyek properti yang ada di Jakarta sehubungan dengan adanya rencana karantina wilayah.
Wakil Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Bidang Hubungan Luar Negeri Rusmin Lawin mengatakan bahwa terkait dengan rencana karantina wilayah pemerintah diminta menentukan apakah proyek yang sedang berjalan boleh dilanjutkan atau tidak.
“Karena proyek-proyek yang ada di sekitar Jakarta seperti di Bogor atau Bekasi misalnya, itu kan bahan bakunya diantar dari Jakarta, jadi menyangkut mobilitas bahan. Selain itu, tukang juga kebanyakan dari daerah, ini aturannya gimana misalnya proyek dihentikan,” kata Rusmin kepada Bisnis, Senin (30/3/2020).
Apabila pemberlakukan karantina wilayah jadi diterapkan, Rusmin berharap kegiatan pembangunan di Jakarta atau di sekitar Jakarta bisa tetap berjalan. Hal ini didasarkan atas keterkaitan keberlanjutan pengembangan dengan perekonomian.
“Soalnya kalau perekonomian mau dipacu, pembangunan harus tetap berjalan, bisa misalnya dengan tetap mengontrol manusia yang keluar masuk,” ungkap Rusmin.
Harapannya, pekerja proyek masih tetap bisa keluar masuk dengan ketentuan dan standar operasional prosedur (SOP) tertentu.
Baca Juga
“Karantina wilayah harusnya bukan berarti sama sekali enggak boleh masuk. Untuk proyek yang berjalan, logistik dan pekerja untuk proyek bisa didata dengan identitas khusus supaya bisa keluar masuk. Jadi pemerintah mungkin bisa buat aturannya,” ujarnya.
Terkait dengan rencana karantina wilayah, Direktur Metropolitan Land Tbk. (Metland) Olivia Surodjo mengatakan bahwa efeknya sudah terasa dari sejak pemberlakuan sistem kerja dari rumah atau work from home (WFH).
“Saya rasa tidak akan ada banyak perubahan dengan karantina wilayah ini, karena orang sudah mulai banyak yang patuh untuk WFH juga,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Adapun, yang menjadi hambatan dari pemberlakuan karantina wilayah maupun WFH adalah karena sistem tersebut membatasi gerak para konsumen properti, sehingga menghambat proses penandatanganan KPR (kredit pemilikan rumah) maupun keputusan untuk membeli properti.