Bisnis.com, JAKARTA - Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan (Himki) menyebutkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) telah terjadi di industri furnitur sejak 3 minggu lalu.
Sekretaris Jenderal Himki Abdul Sobur mengatakan sekitar 30 persen dari total tenaga kerja subkontraktor industri furnitur telah mengalami PHK. Dengan kata lain, sekitar 120.000 tenaga kerja industri furnitur telah dirumahkan.
"Kalau hitungan saya, tidak akan lama bisa [menjadi] 100 persen. Hitungan saya, 400.000 orang [bisa di-PHK] kalau [penyebaran virus corona] tidak bisa diselesaikan dalam waktu 3 bulan," katanya kepada Bisnis, Selasa (24/3/2020).
Sobur mencatat industri furnitur menyerap tenaga kerja hingga 2,1 juta orang dengna berbagai jenis kontrak. Adapun, 80 persen dari total pabrikan furnitur masih berada di level industri kecil dan menengah (IKM) dengan omzet kurang dari US$1 juta dolar.
Sobur berujar penyebab utama dari besarnya gelombang PHK tersebut adalah berhentinya atau ditundanya permintaan pasar global sejak awal Maret 2020. Sementara itu, ujarnya, 95 persen pelaku industri furnitur nasional berorientasi ekspor.
Adapun, pabrikan furnitur di level IKM hanya memiliki kemampuan arus kas rata-rata 1 minggu. Dengan penghentian maupun penundaan pemesanan yang mencapai 3 minggu, PHK tidak dapat dihindari.
Baca Juga
Sobur menyampaikan pabrkan furnitur besar, memiliki kekuatan arus kas untuk menahan produksi lebih lama yakni sekitar 1-3 bulan. Namun demikian, ujarnya, beban utang pabrikan juga akan membesar.
Menurutnya, perbaikan keadaan saat ini hanya bisa dilakukan jika negara tujuan ekspor telah membaik. Sementara itu, ujarnya, pemerintah hanya dapat membantu meringankan beban pabrikan untuk kembali berproduksi saat wabah Covid-19 mereda.
Oleh karena itu, Sobur meminta beberapa keringanan dari pemerintah seperti penundaan pembayaran pajak dan relaksasi pembayaran utang sektor perbankan, khususnya bank plat merah.
"Lebih jauh lagi, kalau pemerintah punya anggaran ekstra bisa meringankan beban perusahaan, tapi koridor itu bisa ditempuh kalau [protokol] lockdown [dijalankan)."
Sobur menilai wabah Covid-19 akan menimbulkan krisis yang lebih dalam dibandingkan krisis pada 1998. Pasalnya, krisis 1998 merupakan krisis yang berasal dari dalam negeri yang bisa dikendalikan, sedangkan wabah corona faktor utamanya berada di luar negeri yang tidak bisa dikendalikan.
Untuk selanjutnya, Sobur berujar asosiasi akan berencana untuk mengubah komposisi orientasi industri furnitur nasional. Menurutnya, pabrikan orentasi ekspor akan diperkecil dari saat ini sebanyak 95 persen menjadi 30 persen, sedangkan selebihnya diarahkan untuk memasok pasar domestik.
"Indonesia punya market yang besar. Perusahaan furnitur lokal harus mempelajari market domestik. Jadi, kalau ada goncangan di luar, akan tetap tahan," ujarnya.