Bisnis.com, JAKARTA – Turunnya harga minyak biasanya memberikan dorongan kepada maskapai penerbangan karena ongkos bahan bakar, yang menjadi pengeluaran terbesar mereka, turun.
Tetapi hal tersebut tidak berdampak besar bagi maskapai yang melakukan hedging, atau lindung nilai, untuk mengantisipasi kenaikan harga, ditambah dengan tekanan dari wabah virus corona yang membuat permintaan perjalanan turun.
Dengan harga minyak yang terjun bebas, posisi lindung nilai yang bertujuan melindungi terhadap kenaikan harga di masa depan, seperti yang dilakukan oleh Singapore Airlines Ltd., British Airways dan Ryanair Holdings Plc, saat ini justru membebani maskapai.
Brent anjlok 30 persen menjadi US$31 per barel, penurunan terbesar sejak Perang Teluk pada tahun 1991, sedangkan Singapore Airlines memberlakukan lindung nilai di US$76 pada 80 persen dari kebutuhan bahan bakarnya hingga akhir bulan ini.
Analis di Eugene Investment & Securities Co, Bang Min Jin, mengatakan anjloknya harga minyak bukan hal yang menggembirakan bagi maskapai penerbangan saat ini karena hampir tidak ada yang bepergian menyusul wabah virus corona.
"Maskapai yang memiliki sedikit paparan terhadap lindung nilai akan berada dalam posisi yang lebih baik daripada mereka yang memiliki paparan lebih besar," ungkap Min Jin, seperti dikutip Bloomberg.
Baca Juga
Dampak yang Luar Biasa
Sebelum gejolak pasar minyak, International Air Transport Association (IATA) pekan lalu memperkirakan penurunan pendapatan hingga US$113 miliar pada tahun 2020 karena wabah virus corona (Covid-19), hampir empat kali lipat dari perkiraan dua pekan sebelumnya.
IATA juga mengatakan penurunan harga bahan bakar, meskipun tidak seperti apa yang terjadi saat ini, dapat memotong biaya sebesar US$28 miliar dan sedikit mengurangi "dampak buruk" dari penurunan permintaan.
Maskapai melakukan lindung nilai harga bahan bakar dalam banyak cara. Beberapa maskapai menggunakan harga minyak mentah karena likuiditas yang terbesar. Adapun maskapai lainnya melakukan lindung nilai secara langsung di pasar bahan bakar avtur.
Ryanair yang berbasis di Dublin telah melakukan lindung nilai 90 persen dari kebutuhan bahan bakarnya dengan rata-rata US$606 per metrik ton untuk tahun fiskal 2020, setara dengan US$77 per barel.
Sementara itu, Air France-KLM yang menghabiskan 5,5 miliar euro (US$6,3 miliar) pengeluaran bahan bakar tahun lalu, melakukan hedging pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu US$619 per ton untuk tahun 2020, atau sekitar US$78,5 per barel, meskipun mematok pada dua pertiga dari kebutuhan bahan bakar.
Dalam presentasi investor bulan lalu, induk British Airways, IAG SA, telah melakukan lindung nilai lebih dari 90 persen dari kebutuhannya dalam tiga kuartal pertama tahun 2020.
Tak Banyak Berdampak
Maskapai penerbangan di China dan India tidak melakukan lindung nilai atas bahan bakar, meskipun keuntungan yang diperoleh operator penerbangan di China dari turunnya biaya bagaikan setetes air di samudera jika dibandingkan dengan anjloknya jumlah penerbangan.
Maskapai di Eropa seperti Norwegian Air Shuttle ASA, dan Cathay Pacific Airways Ltd. telah melakukan lindung nilai lebih rendah dari 40 persen kebutuhan bahan bakar, sehingga berpotensi mendapat lebih banyak keuntungan dari penurunan harga minyak.
Korean Air Lines Co. hanya melakukan lindung nilai sekitar 30 persen dari kebutuhan bahan bakarnya. Namun, seorang juru bicara perusahaan mengatakan pihaknya telah memangkas lebih dari 80 persen kapasitas penerbangan karena Covid-19, sehingga penurunan harga minyak tidak berdampak besar.
Di sisi lain, sejumlah maskapai yang berhasil keluar dari epidemi Covid-19 diperkirakan mendapat manfaat di tahun-tahun mendatang karena dapat melakukan lindung nilai di posisi terendah baru.