Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Industri Minuman Ringan menyatakan pengenaan cukai pada minuman dengan pemanis merupakan pukulan berat bagi industri, karena minuman ringan bukan merupakan produk primer.
Ketua Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) Triyono Pridjosoesilo mengatakan mayoritas konsumen produk minuman ringan di dalam negeri datang dari segmen menengah bawah yang sensitif akan harga. Oleh karena itu, Triyono mempertanyakan mekanisme pengenaan dan perhitungan cukai gula pada minuman ringan tersebut.
"Secara pasti [cukai gula] akan sangat berdampak ke industri minuman [ringan]. Industri minuman [ringan] pertumbuhannya 2 - 3 tahun lalu belum bagus. Tahun ini kami belum yakin bisa tumbuh di atas 5 persen, satu sisi [tantangan] industri minuman [ringan] masih sangat kompleks sehingga belum mencapai pertumbuhan optimal," katanya kepada Bisnis pada akhir pekan lalu.
Triyono menargetkan pada tahun ini industri minuman ringan hanya dapat tumbuh sekitar 3 - 4 persen. Meskipun demikian, pengenaan cukai gula dinilai dapat membuat pertumbuhan produksi industri minuman ringan kembali negatif seperti pada 2017.
Pada presentasi Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) medio kuartal I/2020, objek cukai gula adalah minuman berpemanis. Adapun, cukai tersebut dikecualikan terhadap produk yang dibuat di luar pabrik, menggunakan madu, jus sayur tanpa tambahan gula, dan produk ekspor, rusak, maupun musnah.
Selain itu, minuman dengan kadar gula dan pemanis buatan akan dikenakan tarif lebih tinggi. Ditjen Bea dan Cukai berencana akan menarik cukai tersebut saat produk keluar dari pabrik atau pelabuhan.
Baca Juga
Adapun, Asosiasi Minuman Ringan (Asrim) mendata volume produksi tiga jenis minuman ringan yakni teh kemasan, minuman karbonasi, dan minuman ringan lainnya. Pada 2016, volume produksi teh kemasan mencapai 2,1 juta ton, minuman karbonasi sekitar 747.000 ton, sementara minuman ringan lainnya sekitar 808.000 ton.
Ditjen Bea dan Cukai rencananya akan mengenakan cukai pada teh kemasan sebesar Rp1.500/liter, sedangkan minuman karbonasi dan minuman ringan lainnya sebesar Rp2.500/liter. Dengan kata lain, harga teh kemasan berukuran 350 mililiter akan naik Rp525, sedangkan minuman berkarbonasi berukuran sama naik Rp875.
Adapun, pengenaan cukai akan membuat penerimaan bertambah senilai Rp6,25 triliun. Namun, produksi teh kemasan dan minuman karbonasi akan berkurang masing-masing 8,03 persen, sementara minuman ringan lainnya berkurang sekitar 8,09 persen.
Triyono menyatakan proyeksi Kemenkeu terkait volume produksi setelah pengenaan cukai meleset jauh. Menurutnya, potensi kasar penurunan produksi jika cukai gula diterapkan lebih dari 8 persen.
Triyono menjelaskan penurunan tersebut disebabkan oleh mayoritas konsumen minuman ringan yang sensitif terhadap kenaikan harga. Sementara itu, pengenaan cukai tersebut dinilai akan menaikkan harga produk minuman ringan sekitar 30 - 40 persen.
"Kita ambil produk cup harganya Rp500. Kita naikkan 30 - 40 persen jadi Rp650. Saya yakin di retail tidak [dijual] Rp650, pasti jadi Rp700. Feeling saya setengahnya [konsumen produk tersebut] akan hilang," ujarnya.
Triyono mengatakan pihaknya menyayangkan keputusan Kementerian Keuangan untuk tidak melibatkan asosiasi dalam penentuan cukai tersebut. Menurutnya, keputusan yang diambil akan lebih baik jika asosiasi juga dilibatkan dalam tahap pembahasan.
Di sisi lain, Triyono menyampaikan pengenaan cukai gula juga justru akan menyerang perital eceran seperti warung maupun pengecer di jalan. Selain itu, dia memperkirakan implementasi cukai gula justru akan memberikan sinyal negatif pada investor dan mengurangi penerimaan negara.
Triyono berujar pengenaan cukai gula akan mengakibatkan pabrikan mengurangi produksi akibat permintaan yang menurun. Dengan kata lain, pajak penghasilan badan pabrikan juga akan berkurang.