Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kisruh Kebijakan Kapal Nasional Angkut Batu bara, Ini Usulan Ahli Tambang

Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia meminta pemerintah kembali meninjau kesiapan industri pelayaran nasional, sebelum menerapkan kewajiban penggunaan kapal nasional untuk mengekspor batu bara.
Warga memancing ikan di sekitar kapal tongkang pengangkut batu bara di perairan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (30/10/2018)./ANTARA-Aji Styawan
Warga memancing ikan di sekitar kapal tongkang pengangkut batu bara di perairan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (30/10/2018)./ANTARA-Aji Styawan

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diminta untuk mengkaji ulang dan melakukan persiapan yang matang dalam menerbitkan aturan mengenai kewajiban penggunaan kapal nasional untuk aktivitas ekspor batu bara.

Adapun, pada Mei mendatang, kebijakan penggunaan kapal berbendera nasional akan diberlakukan oleh pemerintah. Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 80 Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas Permendag Nomer 82 tahun 2017 Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli menuturkan fleet kapal nasional saat ini ketersediaannya baru berkisar sekitar 25 persen dari pergerakan kapal yang berjumlah 7.645 perjalanan tahun 2019. Adapun total jumlah vessel  yang dimiliki oleh kapan nasional mencapai 109 buah.

"Hanya sebagian kecil vessel tersebut merupakan vessel yang berkapasitas Panamax (65 kT) dan umumnya digunakan untuk melayani pelanggan yang relatif jauh seperti China, Jepang, Korea dan Taiwan," ujarnya kepada Bisnis, Jumat (21/2/2020).

Menurutnya, apabila tidak dilakukan secara bertahap kewajiban tersebut akan mengakibatkan terhambatnya ekspor batubara dalam jumlah yang sangat signifikan berkisar antara 70% dari produksi batubara nasional yang direncanakan untuk 2020. Adapun sekitar 30% atau 155 juta ton untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Rizal menilai sebelum kewajiban penggunaan kapal nasional ini diberlakukan, terdapatbeberapa hal yang harus disiapkan terlebih dahulu. Salah satunya yakni peta jalan pembangunan industri perkapalan nasional untuk menambah kapasitas volume angkut terutama batubara. untuk ekspor.

Pasalnya, menurut dia, industri kapal adalah industri jangka panjang, padat modal dan padat teknologi. Selain itu, dia menilai pemberlakuannya harus diikuti dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan royalti.

"Dalam kewajiban DHOB dan Iuran Produksi berdasarkan PP Nomer 9 Tahun 2012 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral dihitung berdasarkan free on board (FOB), sehingga berdasarkan International Commercial Terms yg berlaku dalam perdagangan internasional kewenangan memilih kapal berada di tangan buyer, bukan produsen atau seller," tuturnya.

Untuk pemain besar, lanjutnya, umumnya memiliki kontrak jual beli batubara dalam jangka waktu yang relatif panjang sehingga tidak mudah untuk menerapkan ketentuan tersebut untk jangka waktu yang dekat.

"Harus dapat meyakinkan bahwa sustainability suplai batu bara dapat terjamin untuk jangka panjang," ucapnya.

Kebijakan tersebut akan dapat memicu perang dagang dengan negara lain yang juga dapat melakukan kebijakan retaliasi setiap impor dilakukan akan dikenai kewajiban yang sama. Hal ini tidak baik bagi perdagangan internasional yang ujung-ujungnya harus berhadapan dengan World Trade Organisation (WTO).

Dia mengusulkan agar pemberlakuan kewajiban ini sebaiknya dicanangkan untuk beberapa tahun ke depan sesuai dengan siklus pertumbuhan industri perkapalan yang lazim di dunia.

Hal ini terlebih dulu harus diikuti dengan pembuatan peta jalan industri perkapalan yang jelas.

Pasalnya, kebijakan yang diterapkan dalam jangka pendek memiliki moral hazard di mana dapat melahirkan spekulan yang hanya akan menjadi agen bagi perusahaan pelayaran luar negeri yang ingin menggunakan shortcut utk terhindar dari kewajiban ini.

"Industri perkapalan dan pelayaran nasional tetap saja tidak akan mengalami kemajuan meskipun telah dibantu melalui kewajiban ini," tuturnya.

Akibat terhambatnya ekspor, tambahnya, kebijakan yang maksudnya baik dari Kementerian Perdagangan ini akan justru bertentangan dengan keinginan Presiden Jokowi yang berupaya mengurangi defisit neraca transaksi berjalan  (CAD).

Kendati demikian, menurutnya, Perhapi pada prinsipnya mendukung kebijakan ini, kendati harus disertai dengan kajian strategis dan  besar. Selain itu, perlu dikaji grace period yang masuk akal secara bisnis untuk pelaksanaan kebijakan ini dan insentif untuk pertumbuhan industri pelayaran dan perkapalan nasional.

"Pranata dan instrumen yang lazim di dunia perdagangan internasional. Pertumbuhan industri perkapalan akan meningkatkan daya saing industri teruama batu bara yang masih sangat mengandalkan ekspor, bukan justru bisa menimbulkan beban biaya tambahan yang kontra produktif bagi industri," terang Rizal.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper