Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas pajak sudah menyiapkan langkah untuk mengenakan pajak atas transaksi digital terutama yang berasal dari Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN).
Baca Juga
Dalam Rancangan Omnibus Law Perpajakan yang diterima Bisnis, pemerintah telah mempersiapkan ketentuan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak Transaksi Elektronik atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dilakukan oleh SPLN.
Pada Pasal 16 disebutkan bahwa pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, hingga penyelenggaran PMSE yang memenuhi ketentuan significant economic presence bakal diperlakukan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh).
Ketentuan significant economic presence ditentukan berdasarkan jumlah omzet konsolidasi grup usaha, jumlah penjualan di Indonesia, hingga jumlah pengguna aktif di media digital.
Apabila PPh tidak dapat dikenakan atas SPLN tersebut akibat adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka SPLN yang memenuhi ketentuan significant economic presence tersebut bakal dikenai Pajak Transaksi Elektronik.
Merujuk pada naskah akademik, Pajak Transaksi Elektronik atau yang di dunia internasional dikenal sebagai digital service tax sudah lazim dikenakan oleh berbagai negara. Pajak jenis ini dikenakan karena terdapat keterbatasan dari perjanjian untuk menjangkau transaksi elektronik.
Nantinya, pemerintah akan mengatur secara khusus ketentuan mengenai tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan PPh dan Pajak Transaksi Elektronik melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Adapun untuk ketentuan lebih lanjut mengenai significant economic presence, tata cara pembayaran dan pelaporan PPh dan Pajak Transaksi Elektronik, serta tata cara penunjukan perwakilan yang berkedudukan di Indonesia diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri.
Apabila pedagang, penyedia jasa, dan penyelenggara PMSE luar negeri tidak memenuhi ketentuan mengenai PPh, Pajak Transaksi Elektornik, dan bahkan terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta kepabeanan, sanksi adminstratif bisa dikenakan oleh otoritas pajak sesuai dengan ketentuan dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (KUP).
Selain sanksi adminintrasi, Rancangan Omnibus Law Perpajakan juga memberikan ruang untuk mengenakan sanksi berupa pemutusan akses.
Direktur Jenderal Pajak diberi hak untuk menyampaikan usulan kepada Menteri Keuangan untuk melakukan pemutusan akses. Usulan tersebut diteruskan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo).
Adapun tata cara pemutusan akses atas Wajib Pajak (WP) yang tidak patuh tersebut dilakukan sejalan dengan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik.
Dalam naskah akademik Omnibus Law Perpajakan, diterangkan bahwa perkembangan ekonomi digital di Indonesia merupakan yang paling cepat dan memiliki pangsa pasar yang paling besar dibanding negara lain di Asia Tenggara. Pemajakan atas transaksi digital pun menjadi penting karena saat ini ada ketidaksetaraan perlakuan akibat perkembangan ekonomi digital.
"...bagi masyarakat suatu yurisdiksi, sebagai contoh negara berkembang seharusnya tidak dijadikan hanya sebagai pasar e-commerce, namun juga harus ikut terlibat sebagai pelaku dalam interaksi ekonomi tersebut," ujar pemerintah dalam naskah akademik tersebut seperti dikutip Bisnis, Kamis (5/2/2020).
Lebih lanjut, saat ini masih terdapat risiko penghindaran pajak dalam skema PMSE yang terbukti dengan adanya penggerusan basis pajak melalui pergeseran transaksi dari konvensional ke elektronik.
Merujuk pada Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), konsep keberadaan fisik sebagai penghasil laba juga seharusnya diartikan secara lebih luas dengan mempertimbangkan di mana kegiatan ekonomi menghasilkan keuntungan.
Oleh karena itu, hak pemajakan dapat ditentukan dengan melihat keterkaitan langsung dari keberadaan ekonomi dengan aktivitas ekonomi di suatu yurisdiksi.