Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tidak akan memberi toleransi terhadap pelanggaran batas muatan dan dimensi atau overdimension overloading kendati Kementerian Perhubungan memberi toleransi untuk lima sektor industri.
Praktik overdimension overloading (ODOL) dinilai sangat merugikan penyelenggaran jalan dan berdampak terhadap pengguna jalan yang tertib.
Kepala Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian PUPR Danang Parikesit mengatakan bahwa sosialisasi terhadap praktik ODOL dinilai sudah cukup sehingga pemilik kendaraan tidak memiliki ruang untuk terus melakukan pelanggaran.
"BPJT tetap mengikuti arahan Menteri PUPR untuk konsisten mengatasi kendaraan yang beban muatan per gardannya melebihi desain untuk jalan tol," jelas Danang kepada Bisnis, Senin (20/1/2020).
Penindakan terhadap praktik ODOL atau dikenal dengan Zero ODOL secara penuh ditargetkan berlaku pada 2021. Namun, implementasi di jalan tol ditetapkan setahun lebih awal, yaitu mulai tahun ini.
Pada akhir 2019, Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, dan Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI) sudah menyepakati kesepahaman terkait dengan pelaksanaan pengamanan, pelayanan bersama, penegakan hukum, dan pertukaran informasi di jalan tol.
Baca Juga
Mulai tahun ini, kendaraan ODOL dilarang melintas di jalan tol dan beberapa dermaga penyeberangan. Setahun berselang, larangan serupa diterapkan di jalan nasional bukan tol.
Dalam perkembangan selanjutnya, Kementerian Perhubungan memberi diskresi untuk lima industri menyusul permintaan dari Kementerian Perindustrian.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan bahwa pelarangan praktik ODOL untuk pengangkut semen, baja lembaran, beton ringan, air minum dalam kemasan diberlakukan maksimal hingga 2022.
Adapun, Kementerian Perindustrian sebelumnya telah meminta penyesuaian waktu kebijakan Zero ODOL 2023—2025.
“Meski demikian untuk ruas jalan tertentu, seperti Jakarta—Cikampek dan Gresik akan tetap diberlakukan Zero ODOL atau tidak ada toleransi terhadap ODOL,” jelas Budi.
Danang mengemukakan bahwa praktik ODOL merugikan banyak pihak, mulai dari penyelenggaran jalan, operator jalan tol, hingga pengguna jalan. Praktik ODOL membuat jalan cepat rusak sehingga pemerintah perlu mengeluarkan biaya perawatan jalan.