Bisnis.com, JAKARTA - Pembangkit dengan bahan bakar solar jenis high speed diesel (HSD) yang berada di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) akan dioperasikan dengan biodiesel.
Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN (Persero) Djoko Rahardjo Abumanan mengatakan hingga saat ini, belum ada angka pasti mengenai berapa alokasi kebutuhan biodiesel untuk pembangkitan pada 2020. PLN masih menanti Keputusan Menteri ESDM mengenai gasifikasi pembangkitan.
Dalam kepmen tersebut, akan diatur jumlah pembangkit berbahan bakar minyak yang melakukan konversi bahan bakar ke gas. Jika jumlah satuan dan kapasitas pembangkit yang dikonversi ke gas atau melakukan gasifikasi telah didata, baru PLN mempertimbangkan pembangkit mana yang akan menggunakan biodiesel.
Adapun biodiesel digunakan untuk pembangkit yang tidak layak digasifikasi dan saat ini masih dioperasikan dengan HSD.
"Kepmen ini untuk kerja 2020, cuma penugasan yang diperintahkan untuk mesin-mesin yang menggunakan gas atau B30 belum ada. Jadi, kalau enggak bisa gas, kami pakai B30," katanya kepada Bisnis, baru-baru ini.
Sementara itu, berdasarkan data PLN, kebutuhan HSD sebagai bahan bakar pembangkitan telah memiliki porsi yang kecil sejak 2019. Adapun komposisi HSD hanya 32% dari total kebutuhan bahan bakar minyak atau 987.795 kiloliter (kl). Sisanya, konsumsi biodiesel dengan mandatori 20% (B20) sebesar 53% atau 1.623.351 kl dan marine fuel oil (MFO) sebanyak 443.273 kl atau 15%.
Selama pemakaian bahan bakar nabati pada pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTG), kandungan fatty acid methyl esters (FAME) yang terkandung dalam biodiesel ternyata tidak direkomendasikan karena dapat merusak material pada gas turbin.