Bisnis.com, JAKARTA – Pasar keuangan Amerika Serikat (AS) tampak mulai mengungguli China di tengah belitan perang dagang antara dua negara berekonomi terbesar di dunia ini.
Obligasi AS bertahan pada rally-nya tahun ini, dolar AS bergerak stabil meskipun telah melalui tiga kali pemangkasan suku bunga, dan bursa saham AS mencatat serangkaian rekor.
Sementara itu, bursa saham China, nilai tukar yuan, dan obligasi pemerintah Negeri Tirai Bambu masih berjuang untuk menemukan momentumnya.
Keunggulan kinerja pasar saham AS terlihat khususnya dalam beberapa bulan terakhir, dengan indeks S&P 500 diperdagangkan relatif jauh lebih 'mahal' dibandingkan dengan indeks Shanghai Composite.
“Pasar saham AS tampak benar-benar kuat, sementara momentum pada bursa saham China terlihat pada awal tahun telah sedikit berkurang,” ujar Gerry Alfonso, direktur eksekutif departemen bisnis internasional di Shenwan Hongyuan Group Co.
“Perlambatan China telah berdampak pada sentimen investor bahkan lebih besar dari perkembangan di bidang perdagangan,” paparnya, seperti dilansir melalui Bloomberg (Jumat, 29/11/2019).
Pada Agustus 2019, indeks saham acuan AS dan China mengalami korelasi terbesar dalam empat tahun. Tapi korelasi ini kemudian menguap. Indeks S&P 500 naik 7,2 persen sejak 30 Juni sementara Shanghai Composite telah kehilangan 3 persen.
"Investor global melihat perang dagang yang mengarah pada risiko lebih besar untuk investasi di China dan pasar negara berkembang ketimbang AS,” terang Hyde Chen, seorang analis ekuitas di UBS Wealth Management.
“Pasar saham AS bernasib lebih baik karena ekonomi Asia secara keseluruhan menerima tekanan lebih besar dari dampak perdagangan,” imbuhnya.
Investor telah menuntut kompensasi terbanyak untuk memegang obligasi China relatif terhadap obligasi AS dalam dua tahun.
Spread antara imbal hasil obligasi 10 tahun kedua negara ini melebar menjadi 1,6 poin pada Oktober, karena kekhawatiran likuiditas menahan obligasi China mengikuti rally obligasi global. Pada akhir 2018, gap imbal hasil menyusut ke level terkecil sejak 2010, hanya 25 basis poin.
Terkait mata uang, lazimnya nilai tukar mata uang suatu negara yang melakukan pelonggaran kebijakan moneter seringkali melemah. Namun, ICE US Dollar Index telah naik lebih dari 2 persen tahun ini sementara nilai tukar yuan berjuang naik.
Pada Agustus, nilai tukar yuan melemah menembus level 7 per dolar AS untuk pertama kalinya sejak 2008. Pelemahan ini sampai mendorong pemerintah AS untuk melabeli China sebagai manipulator mata uang.
Turunnya volume transaksi menunjukkan pedagang mata uang yuan lebih memilih untuk mengambil sikap wait and see untuk saat ini.
Hal tersebut lantaran penandatanganan RUU yang mendukung demonstran Hong Kong oleh Presiden Donald Trump mengancam prospek tercapainya kesepakatan perdagangan tahap pertama.
Menurut analis di Goldman Sachs Group Inc. dan Morgan Stanley, indeks Shanghai Composite mengalami kinerja yang relatif solid mengingat tantangan-tantangan yang dihadapi ekonomi China,
Kedua broker tersebut bulan ini memangkas prospek mereka untuk saham-saham kelas A menjadi “neutral” dari “overweight”, dengan menyebutkan kemungkinan melambatnya arus masuk asing setelah pembelian besar-besaran tahun ini.