Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Implementasi IE-CEPA Ngaret, Ini Penyebabnya

Implementasi perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif Indonesia-European Free Trade Association Comprehensive Economic Partnership (IE-CEPA) harus mundur dari target lantaran masih berlangsungnya proses ratifikasi di masing-masing negara.

Bisnis.com, JAKARTA - Implementasi perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif Indonesia-European Free Trade Association Comprehensive Economic Partnership (IE-CEPA) harus mundur dari target lantaran masih berlangsungnya proses ratifikasi di masing-masing negara.

Di Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) menyebutkan bakal melakukan pembahasan dan ratifikasi terhadap perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif tersebut belum dapat dilakukan pada tahun ini. Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima mengatakan proses pembahasan di tingkat legislatif itu akan dilakukan pada Masa Persidangan II periode 2019-2020 pada Maret tahun depan.

“Kami tidak ingin terburu-buru melakukan pembahasan perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif tersebut. Kementerian Perdagangan juga sudah menyampaikan bahwa prioritas penyelesaian ratifikasi tahun ini adalah Indonesia-Australia CEPA. Untuk itu kami akan fokus ke IA-CEPA lebih dahulu,” katanya, Selasa (19/11/2019).

Dia mengatakan DPR RI akan melihat urgensi dari perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif tersebut.  Selain itu DPR juga akan memeriksa keterjaminan akses pasar produk-produk Indonesia di kawasan EFTA pasca diberlakukannya perjanjian dagang tersebut. Salah satunya terkait dengan akses pasar produk andalan ekspor RI yakni minyak kelapa sawit mentah dan produk turunannya.

Adapun, European Free Trade Association (EFTA) merupakan blok negara Benua Eropa yang beranggotakan Swiss, Norwegia, Islandia dan Liechtenstein. Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan  Iman Pambagyo mengatakan dari empat negara anggota EFTA, baru Swiss yang telah menyelesaikan proses ratifikasi.

“Tiga negara lainnya belum meratifikasi dan kami akan upayakan melobi ketiga negara tersebut supaya proses ratifikasinya bisa dipercepat mengingat pentingnya perjanjian kerja sama ini,” katanya.

Adapun sebelumnya, Kementerian Perdagangan menargetkan proses ratifkasi IE-CEPA dapat diselesaikan pada akhir tahun ini. Dengan demikian, implementasi perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif tersebut dapat dilakukan pada 2020.

Kendati demikian, Iman optimistis proses ratifikasi IE-CEPA di masing-masing negara dapat selesai pada paruh pertama tahun depan. Alhasil, IE-CEPA dapat dilangsungkan paling cepat pada paruh kedua 2020.

Berdasarkan data Kemendag IE-CEPA akan membuat Swiss dan Liechtenstein menghapuskan 7.402 pos tarif yang setara dengan 81,70% produk ekspor RI ke negara tersebut. Sementara itu, dengan  Norwegia, Indonesia akan mendapat pembebasan bea masuk untuk 6.333 pos tarif, yang setara dengan 90,97% produk ekspor Indonesia ke negara tersebut. Selain itu, Islandia akan menghapuskan  8.100 pos tarifnya atau sekitar 94,28% dari total produk ekspor RI ke negara itu.

Ketua Komite Tetap  Bidang Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Joewono menyanyangkan mundurnya implementasi IE-CEPA dari target. Pasalnya dia menilai IE-CEPA penting bagi Indonesia untuk memaksimalkan aksesnya ke Benua Biru.

“IE-CEPA ini bisa menjadi pintu masuk kita ke Benua Biru, terutama Uni Eropa. Sebab negara-negara EFTA ini memiliki perjanjian kerja sama dagang dengan negara Uni Eropa, sehingga kita bisa memanfaatkannya sebagai hub ekspor,” katanya.

Untuk itu dia meminta DPR RI dan pemerintah bersinergi untuk mempercepat penyelesaian ratifikasi perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif tersebut. Mengingat, Filipina dan Singapura telah lebih dahulu memiliki perjanjian dagang bebas dengan FTA.

Senada, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan EFTA merupakan sumber investasi asing yang perlu segera diamankan. Untuk itu, percepatan penyelesaian proses ratifikasi dengan blok negara tersebut harus dilakukan agar arus investasi asing yang masuk ke RI makin tinggi.

“Namun, kami melihat apabila ratifikasi selesai pada semester I/2020, masih bisa ditoleransi. Sebab pada tahun yang sama kita sudah bisa memanfaatkan perjanjian kerja sama tersebut,” katanya.

    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper