Bisnis.com, JAKARTA -- Kemudahan berbisnis atau ease of doing business di Indonesia tetap berada pada peringkat ke-73 dalam laporan Doing Business 2020 yang dirilis oleh Bank Dunia pada Kamis (24/10/2019).
Meskipun peringkatnya tetap, Indonesia mencatatkan peningkatan skor pada indeks dari 67,96 pada tahun lalu menjadi 69,6.
Doing Business 2020 menggunakan metode sederhana untuk menghitung ekonomi mana saja yang sudah meningkatkan kemudahan bisnis.
Pertama, mereka memilih negara yang menerapkan reformasi kebijakan yang membuatnya lebih mudah melakukan bisnis sepanjang 2018-2019, yang dilihat dari tiga atau lebih dari 10 faktor penentu yang termasuk dalam tema laporan tahun ini.
Dalam laporan tersebut, Bank Dunia menyoroti sejumlah faktor yang mendukung kemudahan bisnis di Indonesia antara lain proses untuk memulai bisnis, urusan perpajakan, hingga kegiatan perdagangan lintas batas.
"Indonesia [Jakarta] mempermudah proses untuk memulai bisnis dengan memperkenalkan platform online untuk lisensi bisnis dan mengganti sertifikat cetak dengan sertifikat elektronik," tulis laporan tersebut, dikutip oleh Bisnis.com, Kamis (24/10/2019).
Untuk kemudahan bisnis di kota lain di Indonesia, Bank Dunia menyampaikan bahwa di Surabaya, akses listrik telah mengalami kemajuan dengan peningkatan keandalan pasokan listrik menyusul perbaikan dan pemiliharaan jaringan listrik.
Kota Surabaya juga telah memiliki koneksi listrik baru yang lebih cepat berkat kapasitas pembangkit yang lebih tinggi.
Lembaga internasional yang bermarkas di Washington D.C. ini secara khusus juga membahas perpajakan di Indonesia yang sudah menjadi lebih mudah berkat sistem pengisian online serta pengenalan sistem baru untuk wajib pajak, yang berlaku di Jakarta dan Surabaya.
"Indonesia membuat perdagangan lintas batas lebih mudah dengan meningkatkan pemrosesan online deklarasi bea cukai. Reformasi ini berlaku untuk Jakarta dan Surabaya," tulis laporan tersebut.
Adapun, kegiatan bisnis di Jakarta dan Surabaya dilaporkan telah menjadi jauh lebih mudah setelah pemerintah memperkenalkan sistem manajemen kasus elektronik untuk para penegak hukum.
Dari segi ketenagakerjaan, Bank Dunia menyebutkan bahwa di antara ekonomi berpenghasilan menengah ke bawah di Asia Timur dan Pasifik, Indonesia adalah salah satu ekonomi peraturan ketenagakerjaan yang kaku, khususnya tentang perekrutan.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa perusahaan di negara berkembang kesulitan membayar upah minimum kepada pekerjanya karena rasio upah minimum terhadap pendapatan median terlalu tinggi dibandingkan dengan rasio di negara berpendapatan tinggi.
"Sebagai contoh, kenaikan 10% dalam upah minimum di Indonesia dikaitkan dengan penurunan 0,8% dalam penerimaan kerja rata-rata di provinsi tertentu," tulis laporan Bank Dunia.