Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo resmi melantik dr. Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan dalam kabinet Indonesia Maju 2019—2024.
Sekjen Asian Federation of Psychiatric Associatios, Nova Riyanti Yusuf menilai dipilihkan Terawan sebagai menteri kesehatan adalah hak preogatif Presiden. Hanya saja, dia berharap agar isu kesehatan jiwa juga menjadi prioritas dalam program kerjanya.
“Saya rasa Pak Jokowi dengan hak prerogatifnya mempunyai alasan tersendiri kenapa memilih beliau. Saya hanya berharap isu kesehatan jiwa yang sudah termarjinalkan pada era Bu Nila Moeloek [menteri kesehatan sebelumnya],” katanya kepada Bisnis.com, Rabu (23/10/2019).
Selama dipimpin oleh Nila Moeloek, lanjutnya, Kemenkes dinilai kurang memperhatikan isu kesehatan jiwa. Menurutnya, hal itu disebabkan karena masalah kesehatan mental/jiwa tidak masuk dalam RPJMN bahkan peta jalan SDGs Indonesia, padahal penurunan suicide mortality rate masuk dalam target 3.4.2 SDGs oleh WHO.
Selain itu, tidak ada satupun peraturan turunan yang diproduksi dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa sejak UU itu dilahirkan, baik dalam bentuk peraturan pemerintah, perpres, permenkes juga permensos.
“Mungkin dengan background jenderal semoga kerjanya lebih strategis dan cepat untuk pembangunan kesehatan jiwa di Indonesia. Apalagi mendikbud [Nadiem Makarim] yang sekarang dibebani dengan pembangunan SDM, maka Kemenkes harus seiring dengan pembangunan kesehatan jiwa.”
Pakar kesehatan masyarakat Hasbullah Thabrany mengatakan dipilihnya Terawan sebagai menkes diharapkan menuntaskan persoalan-persoalan kesehatan di Indonesia.
“Semoga beliau terbuka dan objektif melihat permasalahan Kesehatan dan menyelesaikan dengan realistis,” katanya.
Menurutnya, hal yang harus dituntaskan oleh Terawan yaitu masalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan bayar dokter dan rumah sakit (RS) yang memadai.
Terawan juga diharapkan tidak hanya fokus pada pembenahan fasilitas kesehatan (faskes) publik. Pasalnya, faskes swasta juga perlu diperkuat dan dibayar dengan layak.
“Faskes swasta ini banyak yang mulai bangkrut. Khususnya klinik dan dokter praktik. Bayaran kapitasi tidak naik, tetapi BPJS Kesehatan terus tambah kewajiban. Tidak adil dan tidak realistis.”
Sekadar catatan, dalam pemberitaan Bisnis.com sebelumnya, sosok Terawan sendiri sudah tidak asing di dunia kesehatan Indonesia. Pria berusia 55 tahun tersebut adalah Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, yang merupakan rumah sakit kepresidenan dengan pangkat mayor Jenderal.
Namanya sempat menimbulkan kontroversi dengan metode ‘cuci otak’ untuk mengatasi stroke menggunakan alat Digital Subtraction Angiography (DSA).
Metode berbasis radiologi ini adalah desertasi doktornya di Universitas Hasanuddin, Makassar, dan dinyatakan lulus predikat sangat memuaskan pada 4 Agustus 2016.
Namun, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan metode ini belum lulus uji klinis terhadap penggunaan teknologi untuk membersihkan saluran ‘gorong-gorong’ pembuluh darah yang tersumbat.
Terawan bahkan sempat diberhentikan dari keanggotaan IDI untuk sementara waktu saat isu ini ramai diperbincangkan pada 2018.
Meski mendapatkan pergolakan yang hebat di dalam negeri, nyatanya metode penemuan baru ini sudah mendapat sambutan di Jerman, Belanda, Amerika Serikat dan China.