Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sinkronisasi Regulasi Jadi PR Utama Industri Nasional

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan dalam lima tahun terakhir sudah banyak program yang dibuat Presiden Joko Widodo. Namun, implementasinya masih terkendala lantaran belum adanya sinkorinisasi dalam aturan turunan.
Perakitan Mitsubishi Xpander di Pabrik Bekasi. /MITSUBISHI
Perakitan Mitsubishi Xpander di Pabrik Bekasi. /MITSUBISHI

Bisnis.com, JAKARTA – Sinkronisasi regulasi diyakini masih menjadi pekerjaan rumah utama bagi pemerintah untuk meningkatkan laju peningkatan kinerja industri guna menopang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan dalam lima tahun terakhir sudah banyak program yang dibuat Presiden Joko Widodo. Namun, implementasinya masih terkendala lantaran belum adanya sinkorinisasi dalam aturan turunan.

Salah satunya, jelas dia, kebijakan insentif fiskal melalui tax allowance dan tax holiday yang dinilai belum masif dilaksanakan karena ada regulasi yang masih menghambat.

“Pemerintah harus lebih banyak turun ke lapngan untuk melihat apa yang menjadi kendala diatasi sehingga bisa sinkron,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (20/10/2019).

Fajar menjelaskan akhir-akhir ini iklim investasi di sektor petrokimia mulai membaik, setelah dalam 20 tahun terakhir cukup sepi. Oleh karena itu, dia berharap produk hukum turunan dari kebijakan pemerintah pusat bisa sejalan dalam membangun iklim investasi yang kondusif.

Deregulasi, jelasnya, harus menjadi fokus pemerintah agar aliran penanaman modal bisa membesarkan sektor petrokimia yang sangat vital menopang sejumlah industri lainnya.

“Jangan sampai menghambat, terutama izin AMDAL, air, tenaga kerja dan kenaikan upah setiap tahun. Itu perlu harmonisasi lagi.”

Di samping itu, Fajar berharap kabinet baru Presiden Jokowi bisa fokus mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia searah dengan visi Making Indonesia 4.0. Pemerintah, jelasnya, harus berfokus kepada penciptaan nilai atau produk baru dengan nilai tambah bagus.

Dengan begitu, jelasnya, pihaknya berharap bisa bertumbuh lebih tinggi lagi.

“Selama ini sektor petrokimia secara natural masih bertumbuh, sekitar 5,2 persen. Ke depan, dengan dukungan pemerintah bisa lebih tinggi lagi,” ujarnya.

Sinkronisasi Regulasi Jadi PR Utama Industri Nasional

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gappmi) Adhi S.Lukman juga mengakui bahwa sinkronisasi kebijakan lintas kementerian/lembaga masih menjadi tantangan bagi pemerintah, khususnya untuk mendukung perkembangan industri makanan dan minuman (mamin).

Sektor mamin, jelasnya, dalam periode pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo mampu bertumbuh di kisaran 7 persen - 9 persen atau sudah cukup baik. Namun, dia mengakui bahwa pihaknya memperkirakan pertumbuhan industri mamin bisa mencapai kisaran 10 persen - 11 persen.

Melesetnya proyeksi pertumbuhan itu tidak terlepas dari tidak sinkronnya sejumlah regulasi terkait dengan industri dan perdagangan.

“Mamin tentunya dalam lima tahun ini cukup baik sebab berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi. Tetapi, perkiraan saya di atas 10-11 persen. Saya melihat banyak kendala, termasuk sinkronisasi regulasi,” ujarnya kepada Bisnis, pekan lalu.

Adhi menjelaskan sektor mamin sejauh ini masih cukup bergantung dengan bahan baku impor di tengah keterbatasan pasokan dalam negeri. Importase tersebut memang harus diatur dengan mempertimbangkan petani dan keseimbangan ekonomi dalam negeri.

Gapmmi Usulkan Perubahan Draf Permen Peta Jalan Pengurangan Sampah

Namun, jelas dia, tidak ada kejelasan mengenai proses dan waktu untuk importase tersebut. Kondisi itu dinilai menyebabkan pasokan tersendat dan biaya produksi yang lebih besar.

Pada akhirnya, kendala itu berujung pada daya saing produk mamin nasional.

“Misalnya impor gula, izin harus dari rekomendasi, izin kuota dan sebagainya, tetapi kadang-kadang pemerintah mengeluarkan izinnya terlambat. Kalau begitu, ini menjadi masalah sebab kami tidak bisa memperkirakan harga bahan baku global dan daya saing turun,” ujarnya.

Oleh karena itu, Adhi mengatakan sinkronisasi regulasi itu menjadi pekerjaan rumah utama pemerintah ke depan untuk mendukung revitalisasi sektor manufaktur yang melalui Making Indonesia 4.0 sudah ditetapkan sejumlah industri prioritasnya.

DAYA SAING MANUFAKTUR

Ketua Umum The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Silmy Karim pun mengakui implementasi kebijakan di sektor industri nasional menjadi pekerjaan rumah utama Presiden Joko Widodo dalam periode kedua kepemimpinannya lima tahun ke depan.

Menurutnya, sektor manufaktur Indonesia memiliki potensi untuk bertumbuh tinggi. Namun, sejak era reformasi industri mengalami tren penurunan kinerja, kendati sebelumnya rata-rata mampu meningkat 7,1 persen.

Menurutnya, daya saing manufaktur nasional juga kian lemah. Kondisi itu dinilai tidak terlepas dari belum optimalnya implementasi kebijakan.

“Kebijakan rasanya sudah cukup, tetapi implementasi perlu mendapatkan perhatian,” ujarnya.

Silmy, yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk., mengatakan ke depan pemerintah perlu menemukan cara yang cerdas dan efektif agar implementasi berbagai kebijakan bisa terlaksana dengan optimal. Salah satu yang diharapkan pihaknya bisa direalisasikan pemerintah adalah pengurangan impor produk.

Langkah itu diyakini bisa memacu pengembangan industri nasional.

perakitan mobil
perakitan mobil

Sebelumnya, Silmy mengatakan sektor manufaktur Indonesia sejauh ini cukup tertekan. Oleh karena itu, jelasnya, pemerintah mesti mengambil langkah konkret untuk meningkatkan kinerja industri demi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

“Tidak bisa begini terus, harus ada langkah. Harapan saya, kabinet baru bisa mendorong sustainable economic growth yang tidak bisa tanpa industri yang kuat,” ujarnya pekan lalu.

Silmy mengatakan salah satu poin yang perlu diperhatikan pemerintah adalah upaya memaksimalkan investasi atau pelaku usaha yang sudah ada di dalam negeri.

Dukungan kepada investasi asing yang sudah masuk dan penanaman modal dalam negeri, jelasnya, saat ini lebih penting ketimbang terus  menarik minat investor baru.

“Jadi, dalam hal ini yang harus kita lindungi adalah investor yang ada di  Indonesia. Jangan atas nama investor di luar negeri, memberikan tax holiday dan sebagainya, tetapi yang di dalam negeri mati," tegasnya.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan sejauh ini kebijakan yang ditetapkan pemerintah sudah memberikan arah bagi pengembangan manufaktur. Namun, implementasinya belum sesuai harapan.

“Menurut saya level eksekusi di bawah belum jalan. Seharusnya, dari atas hingga bawah kebijakannya sama,” ujarnya.

tekstil
tekstil

TIM EKONOMI

Sementara tu, Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan revitalisasi industri nasional perlu segera direlisasikan Presiden Joko Widodo pada periode kedua kepemimpinannya dengan memilik tim ekonomi yang mumpuni dalam kabinet dan implementasi peta jalan terintegarsi lintas kementerian/lembaga.

Menurutnya, kinerja sektor manufaktur dalam negeri pada periode pertama kepemimpinan Jokowi masih stagnan dengan ditopang oleh pasar domestik. Pada saat yang sama, jelasnya, terjadi penurunan daya saing ekspor dan realisasi investasi baru dalam tiga tahun terakhir.

Oleh karena itu, dia berharap pada masa kepemimpinan baru ini presiden dapat memilih tim ekonomi yang kuat dengan satu paradigma, yakni fokus pada pengembangan sektor manufaktur nasional yang akan menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi.

“Bukan hanya memilih menteri perindustrian, tetapi memilih orang yang tepat untuk seluruh tim ekonomi dengan visi sama bahwa manufaktur harus menjadi main driver untuk pertumbuhan ekonomi,” ujarnya kepada Bisnis, pekan lalu.

Selain itu, Faisal mengatakan pemerintah harus kembali merumuskan kebijakan untuk revitalisasi sektor manufaktur dengan peta jalan yang jelas. Dengan begitu, jelasnya, pelaku usaha dan investor bisa mengkikuti dan terlibat dalam pengembangan industri nasional.

Dia mengakui bahwa saat ini pemerintah sudah memiliki Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015 - 2035 yang didukung dengan peta jalan Making Indonesia 4.0. Dengan revolusi industri 4.0 itu, pemerintah melalui Kemenperin telah menetapkan 5 sektor manufaktur yang akan diutamakan pengembangannya dan menjadi percontohan, yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronik dan kimia.

Kendati begitu, Faisal menilai peta jalan dan rencana jangka panjang itu merupakan inisiasi Kemenperin dan kurang fokus pada sektor prioritas. Padahal, jelasnya, butuh sinkronisasi lintas kementerian/lembaga untuk memacu sektor manufaktur.

“Itu harus menjadi acuan tidak hanya untuk Kemenperin, tetepi juga semua jajaran kabinet, lintas kementerian,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper