Bisnis.com, JAKARTA – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia meminta pemerintah untuk tidak gegabah menghapus beras premium dan medium di tengah pelemahan daya beli masyarakat.
Pengamat dari CORE Indonesia Eliza Mardian menyampaikan, menghilangkan jenis beras premium dan medium bukanlah solusi yang tepat mengingat segmentasi konsumen dibutuhkan agar pemerintah dapat melakukan intervensi untuk melindungi masyarakat menengah bawah.
“Yang seharusnya dilakukan itu dihilangkan HET beras premium,” kata Eliza kepada Bisnis, Jumat (25/7/2025).
Eliza menuturkan, konsumen beras premium merupakan kalangan masyarakat atas yang tidak mengalami masalah jika harga beras mengalami kenaikan.
Kalangan masyarakat atas, lanjut dia, bahkan memiliki kemampuan lebih besar untuk mengganti sumber pangan. Untuk itu, kata dia, pemerintah tidak perlu repot mengatur HET untuk beras premium.
Dia mengatakan, fungsi dari HET sejatinya adalah untuk menjaga daya beli masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat yang perlu dijaga daya belinya adalah kelompok menengah ke bawah.
“Beras medium dan HET ini harus wajib ada untuk melindungi konsumen masyarakat bawah. Kalangan atas yang pengeluarannya lebih banyak untuk non makanan, tidak akan terguncang kalau harga beras premium naik,” tuturnya.
Dalam hal beras medium telah melampaui HET, kata dia, menjadi tugas pemerintah untuk melakukan stabilisasi harga di pasar.
Lebih lanjut, Eliza mengatakan pengeluaran masyarakat menengah ke bawah lebih banyak dialokasikan untuk makanan. Ketika harga beras naik, kelompok ini akan mengurangi pembelian protein dan belanja non makanan guna memenuhi kebutuhan karbohidratnya.
Dia menuturkan, bukti harga beras sangat memengaruhi pola konsumsi masyarakat menengah ke bawah dan miskin tercermin dalam rilis Badan Pusat Statistik (BPS) terkait kemiskinan.
Meski BPS menyebut persentase penduduk miskin pada Maret 2025 turun menjadi 8,47%, terjadi perubahan proporsi dalam garis kemiskinan. Eliza mengungkap, proporsi penduduk miskin untuk membeli bahan makanan di Maret 2025 bertambah dibandingkan September 2024.
“Proporsi untuk non makanan jadi berkurang karena dialokasikan untuk membeli bahan makanan,” ungkapnya.
Di basket makanan, Eliza menyebut bahwa proporsi pengeluaran masyarakat miskin untuk membeli beras, rokok kretek, dan mi instan meningkat, sedangkan untuk protein hewani dan kue menurun secara proporsi.
Menurutnya, hal ini membuktikan bahwa harga pangan mengalami kenaikan, sehingga menggerus daya beli masyarakat miskin. Akibatnya, kata dia, kelompok ini mengutamakan pemenuhan karbohidrat sementara pemenuhan protein dan non makanan dikurangi proporsinya dari total yang biasa mereka keluarkan.
Indeks kedalaman miskin Maret 2025 naik dibandingkan September 2024, kata dia, menandakan bahwa penduduk miskin semakin jauh dari garis kemiskinan, kebutuhan dasar mereka semakin sulit untuk dipenuhi.
“Jadi pemerintah jangan gegabah menghapus beras medium, itu masih sangat diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat kelas menengah bawah. Jangan sampai mereka terus turun kelas hingga jatuh ke jurang kemiskinan,” pungkasnya.