Keharmonisan Bank Indonesia selaku pemangku kebijakan moneter dengan pemerintah dalam 5 tahun terakhir telah menorehkan beberapa pencapaian. Sebut saja pengendalian inflasi dan menjaga nilai tukar rupiah cenderung terjaga. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi dan defisit transaksi berjalan masih butuh perhatian khusus 5 tahun ke depan.
Pada suatu kesempatan usai Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan, Bank Indonesia (BI) kerap dicemburui oleh sejumlah bank sentral di negara lain. Pasalnya, BI memiliki relasi yang harmonis dengan pemerintah, selaku pemangku kebijakan fiskal. Tak seperti relasi bank sentral dengan pemerintah di negara lain, di Amerika Serikat misalnya yang kerap tegang antara The Fed dengan pemangku kebijakan fiskal.
Menanggapi hal itu Perry menyatakan, keharmonisan ini punya tujuan utama untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi bisa mencapai target di atas 5,1% tengah kondisi ketidakpastian global.
Memasuki kuartal IV/2019, nasib defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) kuartal III/2019 kembali dipertanyakan. Hal ini mengingat kuartal II/2019, CAD sempat menyentuh 3% dari PDB. Perry menilai, CAD kuartal III/2019 masih sesuai perkiraan pemerintah yaitu 2,5%-3% dari PDB. Perry juga mengklaim, pencatatan surplus pada neraca perdagangan Agustus 2019 bisa mengindikasikan CAD kuartal III/2019 membaik dari kuartal sebelumnya.
“Kami akan tunggu secara keseluruhan [dari Badan Pusat Statistik], tetapi secara keseluruhan itu masih menunjukkan kuartal III/2019 sekitar 2,5%-3%, dan konsisten dengan assement kita terhadap stabilitas eksternal terjaga,” paparnya di Kompleks Bank Indonesia, Jumat (11/10/2019).
Dia memprakirakan, CAD pada kuartal III/2019 ini masih akan ditopang oleh investasi portofolio melalui Surat Berharga Negara (SBN), dan investasi langsung atau foreign direct investment (FDI).
Baca Juga
Dalam 5 tahun terakhir, Bisnis.com mencatat CAD Indonesia cenderung mengalami perbaikan meski belum signifikan. Berdasarkan Laporan Kebijakan Moneter BI setiap kuartalan, CAD pada kuartal III/2014 usai pilpres, tercatat mulai membaik ke 3,07% dari PDB, sebelumnya 4,07% dari PDB. Meskipun sangat fluktuatif, sejak 2015, CAD Indonesia tidak lagi melampaui 5% dari PDB.
Bisnis.com juga mencatat, sepanjang 2015 meski sempat ada pelemahan rupiah yang membuat nilai tukar rupiah mulai berada pada kisaran Rp11.000 merangkak sampai Rp13.000, dan kembali melemah pada akhir 2018 hingga hampir melampaui Rp15.000.
Meski demikian, menurut ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana, dalam 5 tahun terakhir, kinerja CAD juga cenderung membaik. Hal ini menurut Wisnu tak lepas dari perubahan suku bunga dari BI Rate menjadi BI 7 Days Repo Rate. Acuan ini terhitung mulai 19 Agustus 2016 Bank Indonesia menggunakan BI 7-day RR Rate sebagai suku bunga kebijakan menggantikan BI Rate dengan tujuan meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter.
“Dulu BI Rate ditetapkan, bank akan sesuaikan dengan deposito masing-masing, kalau sekarang feasibility perbankan begitu BI 7 Days Repo Rate langsung ke moneter, perbankan itu ada kemajuan,” kata Wisnu.
Dia juga menambahkan, goncangan terhadap nilai tukar rupiah tidak terlalu parah jika dibandingkan dengan 10 tahun terakhir. Apalagi BI telah mengambil langkah strategis dalam 5 tahun terakhir untuk memperkuat fundamental rupiah dengan aturan transaksi derivatif suku bunga rupiah, yaitu Interest Rate Swap (IRS) dan Overnight Index Swap (OIS), yang mana aturan tersebut dapat memperkaya alternatif instrumen lindung nilai terhadap perubahan suku bunga domestik.
Selain itu, BI juga menerbitkan aturan Local Currency Settlement (LCS) yakni penggunaan mata uang negara terkait dalam perdagangan yang mengurangi ketergantungan pada dolar AS.
Meski demikian, Wisnu menilai dalam 3 tahun terakhir, BI terbagi fokusnya selain menjaga fundamental rupiah juga menjaga inflasi melalui Tim Pengendali Inflasi Nasional (TPIN) kerjasama dengan pemerintah. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang belum mencapai target di atas 6%, menjadi alarm bagi pemerintahan baru untuk menyusun strategi yang tepat sasaran dan realistis ke depan. Apalagi, kondisi ekonomi global lima tahun ke depan sangat fluktuatif dan mempengaruhi ekonomi domestik.
Oleh sebab itu, jika pemerintah dan BI ke depan ingin menurunkan CAD di bawah 2,5% dari PDB tiap tahun, perlu ada penguatan ekspor dan juga penguatan pendapatan primer. Caranya, usul Wisnu, dengan mendorong pelaku usaha BUMN dan swasta mulai ekspansi ke luar negeri, sehingga dividen perusahaan Indonesia bisa masuk sebagai repatriasi ke penerimaan negara guna menambal defisit.
David E. Sumual, ekonom Bank BCA, menyatakan dalam 5 tahun terakhir, bank sentral sudah menjalankan kebijakan moneter yang pruden. Namun dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, menurut David, bank sentral tidak bisa berjalan sendiri. BI diharapkan harus lebih fokus untuk menjaga volatilitas rupiah, maka penting ada kerjasama stakeholder domestik serta pemerintah.
“Yang harus dilihat volatilitas karena kita masih transaksi. CAD masih jadi persoalan yang berjalan cukup lama, dan ini struktural sifatnya,” ujar David.
David juga menambahkan, metode bauran kebijakan antara moneter dan makroprudensial yang diluncurkan BI dalam 5 tahun terakhir seperti Rasio Intermediasi Makroprudensial (LTV), lalu Loan To Value, telah memperlengkap instrumen kebijakan. Dengan metode ini pengendalian likuiditas jangka pendek menjadi lebih terukur.
Ke depan, David mengingatkan kembali visi pendalaman pasar keuangan yang menjadi agenda penting bank sentral. Sebut saja salah satu upaya BI yang akan terealisasi dalam akhir tahun ini adalah Surat Berharga Korporasi (SBK). Menurut dia, SBK akan sangat positif untuk mendorong likuditas dan aktivitas perekonomian menjadi lebih dinamis.
Dia berharap dengan sumber likuiditas baru dari perbankan dan pasar saham, maka dinamika ekonomi 5 tahun ke depan bisa membaik.
PENDALAMAN PASAR KEUANGAN
Ekonom Bank Pertama Josua Pardede menambahkan, dalam pendalaman pasar keuangan, BI telah menjaga relasi yang baik dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), utamanya untuk menyediakan produk-produk keuangan baru. Meski demikian, dia berharap agar BI bisa menyusun prioritas dalam meluncurkan produk di pasar keuangan, agar jangan sampai hanya memberikan fleksibilitas opsi saja bagi calon investor. Sebaliknya, perlu ada variasi yang lebih optimal, sehingga diperlukan penguatan literasi keuangan bagi masyarakat.
“Sejauh ini semua yang dilakukan BI sudah mencakup dari inflasi, stabilitas, sektor riil, dan sistem pembayaran, serta perbankan syariah. Maka ke depan kebijakan bauran BI tak melulu soal inflasi, tetapi memperkuat sistem pembayaran, moenter, makroprudensial, dan ekonomi syariah,” ujar Josua.
Fikri C. Permana, ekonom PT. Pemeringkat Efek Indonesia, menilai koordinasi BI dengan pemerintah dalam 5 tahun terakhir memang cukup baik, tercermin dari serangkaian bauran kebijakan yang diluncurkan BI. Pencapaian inflasi yang terkendali, dan juga transaksi Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) dan instrumen pengganti JIBOR sudah memberikan kepercayaan pada pasar.
“Saya berharap dalam 5 tahun ke depan, ada dorongan dalam bentuk pendalaman pasar keuangan yang lebih intensif,” kata Fikri.
Dia juga berharap, penguatan rupiah bisa didorong melalui perluasan LCS dan BI menjadi bank sentral yang lebih akomodatif pada tantangan global 5 tahun ke depan.