Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Jokowi-JK dinilai belum mampu melakukan diversifikasi sumber pendapatan negara dari pajak sehingga masih bergantung pada penerimaan dari sektor migas.
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri mengatakan sejumlah kebijakan fiskal yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan selama periode pemerintahan pertama Presiden Jokowi sudah cukup baik. Ia mengapresiasi kebijakan-kebijakan yang dibuat sesuai dengan target yang juga terarah.
Yose menjelaskan, saat ini kebijakan fiskal yang dibuat pemerintah sangat fokus untuk memperbaiki perekonomian Indonesia melalui konsumsi rumah tangga. Kenaikan konsumsi masyarakat tersebut membuat tingginya permintaan pasar akan barang dan jasa selama tiga hingga empat tahun belakangan.
“Apalagi sebelum ini, justru sektor fiskal Indonesia yang lebih sering bermasalah dibandingkan sektor lain,” ungkap Yose saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Kendati demikian, Yose berpendapat pemerintah belum mampu melakukan divesifikasi sumber pemasukan dari sektor pajak. Indonesia masih mengandalkan sumber-sumber lama seperti pajak dari sektor migas. Padahal, saat ini harga komoditas tengah mengalami penurunan akibat tensi perang dagang dan ketidakpastian ekonomi global.
Selain itu, kebijakan-kebijakan pendukung untuk mengerek sektor industri masih cenderung bersifat ad-hoc. Regulasi yang dibuat seperti pada paket-paket kebijakan ekonomi masih menggunakan pendekatan secara sektoral.
“Tidak ada benang merah yang dapat dilihat dari regulasi yang dikeluarkan pemerintah selama ini. Approach-nya kurang menyeluruh, mereka berusaha memperbaiki yang sudah ada tetapi regulasi tersebut belum mampu mencegah kondisi-kondisi yang kemungkinan akan timbul,” jelas Yose.
Selain itu, ia juga menuturkan sistematis kebijakan Indonesia masih belum tertata rapi. Yose menilai rencana deregulasi yang dicanangkan pemerintah belum dibarengi dengan gerak responsif dari kementerian dan lembaga.
Ia melanjutkan, kementerian/lembaga kerap mengeluarkan peraturan-peraturan di tingkat yang justru menghambat pencapaian tujuan dalam sebuah paket kebijakan ekonomi. Akibatnya, ketidakpastian dalam berusaha dan investasi menurun dan membuat investor tidak melirik Indonesia.
Data dari Bank Dunia mencatat dalam rentang 2015 hingga 2018 ada sekitar 6.300 peraturan yang dikeluarkan pada tingkat kementerian/lembaga.
Yose melanjutkan, memang ada sejumlah perbaikan yang timbul karena salah satu poin dalam kebijakan ekonomi. Akan tetapi, sifatnya masih belum berkelanjutan (sustainable). Kombinasi hal ini ditambah dengan kondisi global yang tak tentu membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia juga melambat.
“Perlu ada reformasi pembentukan aturan atau regulasi yang lebih baik agar kebijakan ekonomi yang dikeluarkan tidak bertabrakan dengan peraturan kementerian/lembaga. Salah satu caranya adalah penguatan peran kementerian koordinator,” ungkap Yose.