Bisnis.com, JAKARTA – Konsumsi yang tumbuh melambat dan hambatan pada likuiditas ke sektor usaha ikut memberi imbas pada perlambatan industri pengolahan dan kegiatan usaha.
Menurut Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri konsumsi pada kuartal III/2019 memang melambat. Sisi permintaan yang melambat tercermin dari hasil survei Bank Indonesia tentang Prompt Manufacturing Index (PMI) Bank Indonesia sebesar 52,04% pada kuartal III/2019, sedikit lebih rendah daripada 52,66% pada kuartal II/2019.
Selain itu, kondisi itu juga tercermin dalam Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) dari BI yang mengindikasikan kegiatan usaha pada kuartal III/2019 masih tumbuh positif meskipun melambat dibandingkan dengan kegiatan usaha pada kuartal II/2019.
“Semua perlambatan dari sisi permintaan, soalnya harga minyak dan batu bara tidak mengalami kontraksi parah,” kata Yose kepada Bisnis.com, Kamis (10/10/2019).
Dia menilai, kondisi lain yang memicu perlambatan adalah kondisi wait and see para investor terkait kondisi politik Indonesia. Adapun saat ini para investor masih menantikan kepastian dari kabinet baru Joko Widodo dan Maruf Amin. Oleh sebab itu, dia optimistis tidak ada masalah dari sisi suplai pada kuartal III/2019.
Selain masalah kepastian politik, Yose juga menyoroti adanya masalah likuiditas. Dia menilai, pascarelaksasi kebijakan moneter dari Bank Indonesia, pihak perbankan masih sangat berhati-hati dalam mengucurkan likuiditas. Menurutnya, kondisi ini disebabkan oleh pihak perbankan yang menilai adanya tendensi non performing loan (NPL) akan meningkat.
“Efek kebijakan BI belum terasa karena ini tersendat, ada perebutan swasta dan pemerintah juga karena pemerintah mengambil pinjaman dari pasar melalui obligasi dan surat utang,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, selain mengandalkan sisi pembiayaan dari perbankan, Yose mengusulkan agar upaya menarik investasi langsung dipercepat oleh pemerintah. Dia beralasan, dengan mendorong FDI, maka bisa mempercepat kegiatan usaha dan pertumbuhan industri manufaktur.
Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana menyatakan, dua survei BI tentang manufaktur dan kegiatan usaha menandakan adanya sentimen global yang sangat kuat, memberi imbas pada permintaan ekspor yang terkontraksi. Alhasil, konsumsi ikut melemah, diikuti pelemahan kegiatan dunia usaha.
Wisnu juga tak menampik, sejak 15 tahun yang lalu likuiditas domestik mendorong kegiatan usaha dan konsumsi relatif lebih sedikit, baik dari sisi permintaan maupun produksi.
“Maka sebenarnya Bank Indonesia masih punya amunisi penambahan likuiditas melalui penurunan GWM [Giro Wajib Minimum]. Namun perlu diperhatikan juga, apakah permintaan uang yang ada saat ini memiliki kualitas baik,” ujar Wisnu.
Bisnis.com mencatat, pertumbuhan kegiatan usaha tetap positif, utamanya ditopang sektor konstruksi yang tumbuh meningkat.
Sementara itu, perlambatan kegiatan usaha terutama terjadi pada sektor pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan, khususnya pada subsektor pertanian tanaman bahan makanan yang dipengaruhi oleh faktor musim kemarau yang berkepanjangan.
Sejalan dengan perkembangan kegiatan usaha tersebut, rata-rata kapasitas produksi pada kuartal III/2019 yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata pada kuartal sebelumnya. Tingkat penggunaan kapasitas produksi dari rata-rata 77,18% pada kuartal sebelumnya menjadi sebesar 75,42%.
Sebelumnya, dalam PMI kuartal III/2019, Bank Indonesia mengklaim, fase ekspansi terjadi pada hampir seluruh sub sektor, tetapi terpantau adanya perlambatan pada subsektor Makanan, Minuman dan Tembakau serta Tekstil, Barang dari Kulit dan Alas Kaki. Pada sisi lain, kontraksi yang terjadi pada Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya sejak kuartal lalu terlihat masih berlanjut pada kuartal III/2019.