Bisnis.com, JAKARTA -- Neraca perdagangan Agustus 2019 diproyeksikan masih akan mengalami surplus tipis tetapi secara kumulatif tetap mengalami defisit.
Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana menyatakan ekspor Agustus 2019 tetap akan mengalami defisit sampai 5,4% secara kumulatif.
Namun defisit ini akan diikuti oleh kontraksi yang lebih dalam pada impor yakni 11,3%. Wisnu memproyeksikan neraca perdagangan pada Agustus 2019 masih mencatat surplus sampai US$89 juta.
Hal senada diungkapkan pula oleh Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro bahwa ekspor Agustus 2019 diproyeksikan akan terkontraksi 2,01% (m-o-m) sebesar US$15,14 miliar atau defisit 4,62% (y-o-y).
"Ini masih lebih kecil dari Juli terkontraksi sebesar US$15,45 miliar atau 5,05% [y-o-y] pada Juli 2019," ujar Andry, Jumat (13/9/2019).
Kondisi kontraksi ekspor Indonesia, menurut Andry, akibat harga batu bara yang turum 5,33% meskipun harga minyak sawit naik 7,38%.
Di lain pihak, Andry menyebut pada Agustus 2019 angka impor dari Indonesia ke China juga turun 0,72% (m-o-m) menjadi US$3,03 miliar.
Kondisi ini mengindikasikan adanya tekanan lebih besar pada ekspor Indonesia karena ada defisit impor sekitar 3,01% (m-o-m) menjadi US$15,05 miliar. Pasalnya, nilai impor ini terkontraksi 10,53%, sedikit membaik dari Juli 2019 sebesar US$15,51 miliar atau -15,21% (y-o-y). Ekspor dari China ke Indonesia turun menjadi US$3,75 miliar atau turun 9,53%.
Meski begitu, dia memprediksikan neraca dagang masih surplus sekitar US$93,7 miliar, naik tipis dari defisit Juli 2019 sebesar US$63,5 juta. Alhasil sepanjang Januari sampai Agustus 2019 neraca dagang masih akan defisit US$1,8 miliar, menurun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu US$4,15 miliar.
"Kami memproyeksikan defisit transaksi berjalan pada tahun ini masih bisa mencapai 2,6% dari GDP, membaik dari 2,8% tahun lalu," ujar Andry.
Dilansir dari data Perkembangan Ekonomi Indonesia dan Dunia Triwulan II/2019 dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), tensi perang dagang antara Amerika danTiongkok masih tinggi. Risiko perang dagang yang lebih tinggi dapat meningkatkan ketidakpastian global dan mendorong pertumbuhan ekonomi dunia lebih rendah dari perkiraan.
Selain berpotensi berdampak pada realisasi pertumbuhan ekspor yang lebih rendah, ketidakpastian ekonomi global yang meningkat dapat berdampak pula pada realisasi pertumbuhan investasi yang lebih rendah.
Kedua, pergerakan harga komoditas internasional. Di satu sisi, hingga pertengahan Agustus, harga komoditas ekspor utama Indonesia, CPO dan batu bara, masih cenderung menurun dibandingkan dengan 2018.
Penurunan yang lebih tajam dapat berdampak negatif terhadap perkiraan pertumbuhan ekspor.
Sementara itu, meskipun harga minyak dunia sempat kembali meningkat hingga awal Mei 2019, tetapi kembali turun sejak akhir Mei hingga pertengahan Agustus.
Penurunan harga minyak dipicu perlambatan produksi shale oil, padahal OPEC masih terus melanjutkan pembatasan produksi hingga Maret 2020.
Menurunnya harga minyak dunia dapat menurunkan realisasi pendapatan negara dan memicu belanja pemerintah tidak sesuai dengan rencana.