Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah diharapkan dapat membuka pintu investasi dalam sektor industri pengembangbiakan sapi potong melalui skema super deduction tax yang aturannya tengah disiapkan di Kementerian Keuangan.
Wakil Ketua Umum Bidang Makanan Olahan dan Industri Peternakan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Juan Permata Adoe menilai industri pengembangbiakan memenuhi kriteria usaha penyelenggara research and development (R&D) yang menjadi sasaran insentif pajak tersebut.
"Kalau ingin mendorong pengembangbiakan, perlu dibangun perusahaan pengembangbiakan khusus dengan insentif pemerintah. Kan ada skema super tax [sampai] 300 persen jika menjalankan R&D. Kan bisa dimasukkan ke kelompok itu," kata Juan kepada Bisnis, Selasa (10/9/2019).
Sebelumnya, pemerintah melalui PP No. 45/2019 bakal memberikan fasilitas fiskal berupa super deductible tax atau pengurangan penghasilan bruto di atas 100 persen kepada usaha yang menyelenggarakan vokasi dan R&D.
Penyelenggara vokasi bisa mendapatkan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200 persen dari biaya penyelenggaraan vokasi, sedangkan R&D paling tinggi 300 persen dari biaya penyelenggaraan R&D.
Namun, PP tersebut masih belum mengatur mengenai kriteria dan syarat yang perlu dilakukan oleh pengusaha apabila ingin memperoleh insentif tersebut. Adapun aturan teknis insentif tersebut dalam bentuk peraturan menteri tengah dibahas.
Juan menilai pemanfaatan insentif ini bakal lebih akomodatif dibanding kebijakan importasi 5:1 yang mengatur kewajiban impor indukan sapi untuk setiap impor sapi bakalan yang dilakukan usaha penggemukan. Kadin sendiri mengusulkan penghapusan aturan tersebut lantaran berpengaruh buruk terhadap iklim usaha.
"Banyak feedlot [usaha penggemukan] yang mengalami kesulitan sehingga melakukan pengurangan volume importasi bakalan akibat kewajiban itu. Otomatis bisnisnya mengecil," kata Juan.
Berdasarkan penuturan Juan, usulan untuk menghapus kebijakan ini sejatinya telah beberapa kali disampaikan. Namun pihak Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan ia sebut belum bisa memberi jawaban terkait aturan tersebut. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita sebelumnya sempat mengemukakan peluang untuk mengevaluasi aturan tersebut.
Usulan perbaikan kewajiban importasi indukan yang dikenai pada volume importasi bakalan pun disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana. Ia menilai kebijakan tersebut memperberat operasional perusahaan penggemukan. Ia menilai kebijakan tersebut seharusnya juga dikenakan pada importir daging sapi.
"Saya pribadi menilai itu tidak adil. Kenapa importasi daging tidak dikenakan aturan kewajiban serupa? Impor sapi bakalan punya nilai tambah ekonomi. Kalau ketentuan 20 persen harus impor indukan, itu tidak ada yang sanggup," ujar Teguh.