Bisnis.com, JAKARTA — Permintaan properti rumah tapak dinilai lebih diminati daripada permintaan properti hunian vertikal atau apartemen di wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Hal ini terpengaruh oleh perbandingan harga beli yang bersaing antara kedua properti itu.
CEO Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan bahwa tinggal di apartemen belum menjadi pilihan utama bagi para konsumen.
Pasalnya, harga apartemen rata-rata di wilayah kota penyangga terbilang masih tinggi dibandingkan dengan harga rumah di wilayah tersebut yang notabene masih memiliki lahan yang cukup.
"Konsumen akan [memilih] apartemen apabila harganya diperkirakan sepertiga dari harga beli rumah," tuturnya kepada Bisnis, Minggu (8/9/2019).
Berdasarkan catatan IPW, kebutuhan jenis properti yang terintegrasi dengan pusat transportasi umum atau transit oriented development (TOD) menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat perkotaan.
Namun, lanjutnya, harga apartemen yang ditawarkan oleh para pengembang di kota penyangga yang berkisar Rp500 jutaan hanya untuk tipe studio terkecil. Hal ini menjadi perbandingan yang bersaing dengan harga jual rumah tapak dengan nilai jual rata-rata mulai Rp300 jutaan di wilayah tersebut.
Baca Juga
"Semakin mahalnya apartemen yang ditawarkan pengembang di kota penyangga, maka tujuan untuk mengurangi backlog [kekurangan pasok] semakin menjauh," tutur Ali.
Ali menuturkan bahwa hal ini berbeda dengan 2 tahun atau 3 tahun yang lalu, saat harga apartemen di TOD masih ditawarkan dengan harga Rp250 jutaan—Rp300 jutaan dan pasar merespons dengan cukup baik.
"Pasar pembeli end-user tidak mampu lagi untuk menjangkau harga tersebut, dan tergantikan dengan pasar investor yang membeli apartemen tersebut untuk kemudian disewakan lagi kepada para penyewa," tuturnya.