Bisnis.com, JAKARTA -- Usaha pengerukan dan reklamasi diperkirakan lesu hingga akhir tahun ini setelah pemerintah menerapkan kewajiban kepemilikan kapal keruk mulai akhir 2018.
Ketua Umum Indonesian Dredging and Reclamation Assosiation (IDRA) Erick Limin mengatakan banyak pelaku usaha tidak dapat memenuhi salah satu syarat izin usaha pengerukan dan reklamasi itu.
"Ini membuat suatu gejolak yang besar karena teman-teman banyak yang belum bisa penuhi. Jadi membuat delayed sehingga 2019 ini mungkin akan banyak sekali pekerjaan yang akan ditunda," kata Erick, Jumat (6/9/2019).
Erick menyebutkan salah satu pekerjaan yang tertunda akibat regulasi baru adalah pembangunan Pelabuhan Makassar New Port, terutama untuk paket IB dan IC.
Pengurusan IUPR yang belum selesai membuat kontraktor tidak dapat melanjutkan pekerjaan. Paket IB meliputi reklamasi untuk lapangan penumpukan, pekerjaan soil replacement area causeway, pekerjaan revetment, dan pengecoran saluran precast.
Adapun tahap IC mencakup pembangunan breakwater sepanjang 1.310 meter.
Erick mengaku sulit mengestimasi seberapa besar penurunan nilai kontrak pekerjaan pengerukan dan reklamasi hingga pengujung tahun ini. Namun menurut dia, saat ini lebih banyak pekerjaan kecil yang berjalan di lapangan.
Kewajiban memiliki kapal keruk mulai diterapkan setelah terbit Peraturan Menteri Perhubungan No PM 125/2018 tentang Pengerukan dan Reklamasi yang berlaku mulai 27 Desember 2018. Perubahan ketiga Permenhub No PM 52/2011 itu mewajibkan pelaku usaha memiliki paling sedikit satu unit kapal keruk yang laik laut berbendera Indonesia.
Bahkan perusahaan dan pengerukan dan reklamasi berbentuk badan usaha patungan (joint venture) wajib memiliki minimal satu unit kapal keruk jenis trailing suction hopper dredger (TSHD) yang laik laut dengan ukuran hopper paling sedikit 5.000 m3.
Padahal, regulasi sebelumnya hanya mensyaratkan pengusaha 'menguasai paling sedikit satu unit kapal keruk laik laut berbendera Indonesia' yang berarti pengusaha boleh menyewa kapal keruk alias tidak wajib memiliki. Bagi perusahaan patungan pun, kewajiban memiliki kapal TSHD tidak disertai dengan syarat ukuran hopper minimal.
Syarat PM 125/2018 lainnya yang memberatkan pelaku usaha adalah memiliki paling sedikit lima orang tenaga ahli WNI yang memiliki kualifikasi pendidikan Ahli Nautika Tingkat I (ANT I), Ahli Teknika Tingkat I (ATT I), Teknik Sipil, Teknik Geodesi, dan Teknik Kelautan.
Padahal, syarat sebelumnya hanya memiliki satu orang tenaga ahli WNI yang mempunyai kemampuan merencanakan dan melaksanakan pekerjaan pengerukan dan reklamasi.
"Kami ini [mengoperasikan] kapal keruk, bukan untuk melaut. Kenapa harus ANT I? Mestinya ANT ini disesuaikan saja dengan jenis kapal," ujar Ketua Kompartemen Bidang Pengerukan Bambang Sulistyo.
IDRA dalam waktu dekat akan menemui Kementerian Perhubungan untuk membicarakan jalan tengah. Namun, Erick belum dapat menyebutkan jalan tengah semacam apa yang akan diajukan asosiasi kepada pemerintah. Erick mengatakan akan berembuk dulu dengan anggota asosiasi.
Dia memperkirakan usaha pengerukan dan reklamasi akan berbalik tumbuh pesat jika pelaku usaha dan pemerintah menemukan solusi.
Menurut Erick, proyek besar yang dapat mendorong pertumbuhan bisnis pengerukan dan reklamasi a.l. pengembangan pelabuhan laut di bawah Pelindo I, II, III, dan IV; pengembangan pelabuhan oleh pemerintah, seperti Patimban, dan swasta, seperti Lotte; serta pengembangan bandara internasional, seperti Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Ngurah Rai, dan Bandara Internasional Bali Utara.
"Tahun 2020 saya rasa semua permasalahan akan diselesaikan dan bergeraknya akan pesat," ujar Erick.