Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan pemerintah dalam mengendalikan impor hortikultura dan produk hewani pascakekalahan di WTO atas tuntutan AS dan Selandia Baru dibutuhkan, meskipun pemerintah bersiap memberlakukan ketentuan tarif dan nontarif atas impor produk-produk tersebut.
Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana menilai langkah pemerintah yang akan menaikkan bea masuk produk hewani dan hortikultura saat masa panen atau terjadi kelebihan stok di dalam negeri sudah tepat. Namun, menurutnya, rencana tersebut justru berlawanan dengan kebijakan pemerintah sebelumnya.
“Untuk impor daging sapi contohnya, apa benar pemerintah bakal menerapkan bea masuk tinggi untuk impor produk tersebut dari Selandia Baru? Kemarin saja pemerintah membuka impor daging sapi dari Brasil dengan dalih menekan harga daging domestik,” ujarnya, ketika dihubungi Bisnis.com, Selasa (3/9/2019).
Di sisi lain, untuk produk susu, dia menilai kebijakan kenaikan bea masuk tersebut justru berlawanan dengan pakta dagang yang dijalin Indonesia dengan Selandia Baru dalam kerangak Asean-Australia, New Zealand Free Trade Area (AANZFTA).
Pasalnya, dalam pakta kerja sama dagang tersebut, impor produk susu dari negara anggota AANZFTA akan dikenakan tarif 0% mulai 2020.
Sementara itu, terkait dengan upaya Indonesia memberlakukan kewajiban halal bagi impor produk-produk hewani, dia tidak yakin akan menghambat laju impor daging sapi dan susu dari AS dan Selandia Baru. Sebab, AS dan Selandia baru telah memiliki lembaga sertifikasi halal yang sudah diterima di banyak negara Timur Tengah.
Baca Juga
“Maka dari itu, solusi yang lebih efektif adalah pemerintah menggenjot produksi nasional baik susu dan daging sapi dengan berbagai terobosan. Supaya ketergantungan impor kita berkurang dan peternak tidak menjadi korban,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim Arbi mengatakan, pemerintah harus menghitung secara tepat besaran bea masuk pada saat panen raya produk hortikultura di dalam negeri terjadi.
Dia khawatir, besaran bea masuk yang disesuaikan pada masa panen raya tersebut masih dapat terjangkau oleh para produsen di AS dan Selandia Baru.
“Boleh-boleh saja bea masuk produk hortikulturan dinaikkan saat panen raya. Namun, jangan sampai bea masuk tersebut tergolong masih bisa dijangkau oleh eksportir dari AS dan Selandia Baru. Jangan-jangan meskipun sudah dikenai bea masuk, produk negara-negara tersbeut masih lebih murah dari produk kita,” jelasnya.
Dia juga menuntut agar pemerintah memperkuat pengawasan pada saat importasi produk tersebut. Pasalnya dia menilai para importir berpeluang melakukan penimbunan produk hortikultura pada saat di luar panen raya atau saat tarif impor normal diberlakukan.
Penimbunan, lanjutnya dapat dilakukan untuk produk-produk yang di Indonesia telah terdapat gudang pendingin atau penyimpanan, seperti kentang, buah-buahan dan jus buah-buahan.
Hal itu, menurutnya justru akan berdampak negatif kepada petani produk hortikultura Indonesia. Untuk itu dia meminta pemerintah melakukan perhitungan yang matang mengenai data produksi dan periodisasi panen produk hortikultura nasional.
Pasalnya, lanjutnya, selama ini pemerintah tidak memiliki data yang baku dan akurat mengenai produksi produk hortikultura. Kondisi itu dinilainya akan membuat ruag gerak para pelaku usaha nakal, memanfaatkan kekalahan Indonesia dari Selandia Baru dan AS di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di sektor hortikultura.
KEBIJAKAN TRQ
Adapun, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Wisnu Wardhana mengatakan, pemerintah RI akan memberlakukan kebijakan tarif rate quota (TRQ) untuk produk hewani dan hortikultura.
Langkah itu diambil setelah Indonesia telah melakukan penyesuaian atas seluruh permintaan AS dan Selandia Baru, setelah kalah dalam sidang dispute settlement body (DSB) WTO pada November 2017.
“Dari seluruh permintaan Selandia Baru dan AS mengenai penyesuaian Peraturan Menteri Pertanian dan Peraturan Menteri Perdagangan, kita sudah lakukan penyesuaian. Sekarang giliran kita menerapkan strategi untuk mengontrol agar impor produk hortikultura dan hewani tidak melonjak tajam sehingga merugikan peternak dan petani,” jelasnya.
Dia mengatakan kebijakan TRQ diperbolehkan oleh WTO untuk diberlakukan oleh sebah negara. Menurutnya, berdasarkan ketentuan WTO, sebuah negara dapat menaikkan bea masuk impor atas sejumlah produk pada periode tertentu, seperti saat panen raya dan kelebihan stok dalam negeri.
Namun demikian, lanjutnya, dia belum dapat menyebutkan berapa besaran kenaikan bea masuk pada periode tertentu tersebut. Wisnu mengatakan, saat ini, Kementerian Perdagangan sedang memeriksa batas atas pengenaan bea masuk atas masing-masing produk hortikultura dan produk hewani yang diperbolehkan dalam WTO.
Adapun, berdasarkan data Kementerian Keuangan, produk hewani dan hortikultura saat ini dikenai bea masuk berkisar antara 5%-10%.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan) I Ketut Diarmitamengatakan, kebijakan penerapan bea masuk yang tinggi pada saat masa penen raya akan diterapkan dalam waktu dekat.
Selain itu, pemerintah juga akan memperketat proses pengawasan dan sertifikasi halal atas impor produk-produk hewani dan hortikultura.
“Kalau untuk produk daging sapi atau susu sapi, kita akan meminta eksportir dari negara manapun memastikan pakan yang diberikan kepada ternaknya halal. Selama ini proses pengawasan kehalalan hanya dilakuka saat proses penyembelihan,” ujarnya.
Dia mengatakan penerapan bea masuk yang tinggi pada saat masa panen raya atau kelebihan stok di dalam negeri tersebut akan diberlakukan kepada semua negara. Hal itu menurutnya diperlukan untuk mengindari tudingan perlakuan diskriminatif atas negara-negara tertentu