Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekspor ke Anggota OKI Terganjal Isu Sertifikasi Halal

Selain terkendala oleh hambatan tarif, ekspor Indonesia menuju negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) juga terkendala oleh persyaratan sertifikasi halal yang rumit di tiap negara mitra.
Stempel Halal/Istimewa
Stempel Halal/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Selain terkendala oleh hambatan tarif, ekspor Indonesia menuju negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) juga terkendala oleh persyaratan sertifikasi halal yang rumit di tiap negara mitra.

Staf Ahli Bidang Hubungan Internasional Kementerian Perdagangan Arlinda mengatakan,  saat ini di negara anggota OKI terdapat hambatan nontarif berupa beragamnya regulasi, standar dan sistem sertifikasi halal. Tiap negara OKI, menurutnya, memiliki pemahaman dan ketentuan mengenai kehalalan sebuah produk yang diimpor dari luar negeri.

”Meskipun tiap negara sama-sama mengusung konsep halal sebagai syarat mengimpor produk dari luar negeri, masing-masing negara tampak sulit untuk menyamakan persepsi mengenai seperti apa sertifikat halal yang dapat diterima secara universal,” katanya, dalam lokakarya bertema “Discovering Opportunities to Access Halal Market of the Organisation of Islamic Cooperation (OIC) Member Countries, Senin (2/9/2019).

Hal tersebut membuat  para eksportir Indonesia kesulitan untuk mengekspor barangnya ke negara anggota OKI. Meskipun, lanjutnya, para eksportir Indonesia telah mengantongi sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), hal itu tidak serta merta membuat produk Indonesia diterima di negara tujuan ekspor.

Dia menambahkan, kondisi itu salah satunya disebabkan oleh perbedaan mazhab mengenai ketentuan halal yang dianut oleh beberapa negara. Hal itu, lanjutnya, membuat interpretasi atas kehalalan sebuah produk menjadi berbeda-beda di tiap negara.

Sejauh ini, lanjutnya, negara yang telah secara penuh mengakui sertifikat halal yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru beberapa negara seperti di antaranya Uni Emirat Arab dan Pakistan.

Arlinda mengatakan, kamar dagang dan industri masing-masing negara OKI sejatinya telah memiliki perjanjian kesepakatan pengakuan sertifikat halal, untuk perdagangan intranegara anggota. Perjanjian itu adalah Standard and Metrology Institute for Islamic Countries (SMIIC).  Namun, tingkat kepatuhan atas perjanjian tersebut masih rendah.

“Untuk itu, kita perlu mendorong negara-negara  anggota OKI agar menyepakati adanya ketentuan umum mengenai persyaratan halal yang dapat diadopsi melalui sertifikat yang diterbitkan masing-masing negara,” lanjutnya.

Di sisi lain, dia juga mengharapkan kementerian dan lembaga (K/L) memiliki satu pemahaman dalam membentuk sertifikasi halal atas produk Indonesia. Dia mengatakan, Indonesia harus memiliki sertifikat halal tunggal yang diakui oleh negara serta dapat digunakan dan diakui secara internasional.

Saat ini, penerbitan sertifikat halal atas produk-produk di Indonesia masih dilakukan oleh MUI. Nantinya, berdasarkan Undang-Undang No.33/2014 tentang Jaminan Produk Halal, penerbitan sertikat halal akan dilaksanakan oleh  Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) mulai 17 Oktober 2019.

“Saat ini belum ada petunjuk teknis yang mendetail mengenai UU No.33/2014 tersebut. Hal ini yang harus dibicarakan secara matang antara BPJPH dan MUI nantinya, supaya tidak lagi terkotak-kotak dalam pelaksanaan sertifikasinya,”ujarnya.

Seperti diketahui,  saat ini kebijakan penerbitan sertifikasi halal masih menjadi tarik ulur antara MUI dan BPJPH yang berada di bawah naungan Kementerian Agama. Pada 14 Agustus lalu, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dari 31 provinsi di Indonesia  melakukan gugatan atas UU No.33/2014 ke Mahkamah Konstitusi.

Dalam salah satu tuntutannya, LPPOM MUI dari 31 provinsi menilai kehadiran BPJPH akan mereduksi kewenangan MUI dalam menetapkan kehalalan sebuah produk.

Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) bidang Hubungan Timur Tengah dan OKI Mufti Hamka Hasan mengharapkan terjadinya sinergi antara MUI dan BPJPH dalam proses penerbitan sertifikat halal. Dia mengatakan, tarik menarik kewenangan penerbitan sertifikat halal, justru akan merugikan produsen Indonesia dalam mengekspor barangnya ke negara OKI.

“Dalam UU No.33/2014 sudah diatur penetapan fatwa halal dikeluarkan oleh MUI, proses penerbitan sertifikat oleh BPJPH dan audit dilakukan oleh LPPOM MUI, sehingga output sertifikatnya satu bentuk. Kalau masing-masing pihak ingin menerbitkan sertifikat halal, maka akan menyulitkan kita untuk memperkuat keberterimaan produk kita di negara lain,” jelasnya.

Dia mengatakan, ketentuan sertifikat  halal menjadi salah satu hambatan yang besar bagi eksportir RI dalam mengakses pasar negara OKI. Selama ini, beberapa negara anggota OKI, sering kali menggunakan ketentuan halal atas sebuah produk untuk melakukan hambatan dagang.

“Sering kali kita temui, tiba-tiba sebuah negara menetapkan sebuah produk dari Indonesia dinilai tidak halal, padahal sebelumnya lolos uji halal. Ketidakpastian seperti ini yang menjadi kendala bagi kami para pengusaha,” jelasnya.

Untuk itu, dia juga meminta dalam pemeriksaan dan penerbitan sertifikat halal, pemerintah juga memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku di negara-negara tujuan ekspor lain. Hal itu diperlukan agar sertifikat halal dari Indonesia lebih mudah diterima  di negara lain.

Wakil Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia Benny Soetrisno sepakat, pemerintah harus konsisten dalam menentukan syarat dan memilih lembaga penerbit sertifikat halal bagi produk Indonesia. Hal itu diniali penting untuk memperkuat penetrasi produk asal Indonesia di pasar OKI.

“Kalau Indonesia sudah punya ketentuan sertifikasi halal yang baku dan dapat dipertanggung jawabkan secara internasional, layaknya Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Maka akan mempermudah kita mendesak adanya penyeragaman keberterimaan atas sertifikat halal yang diterbitkan tiap negara dalam perdagangan intranegara OKI,”jelasnya.

 Ketua Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso mengatakan, perbedaan mazhab mengenai ketentuan halal sebuah produk di tiap negara anggota OKI cukup sulit diurai. Namun, dia mengaku akan mengumpulkan informasi mengenai ketentuan halal di masing-masing negara OKI, untuk diterapkan dalam proses sertifikasi produk halal di Indonesia.

“Nanti dalam pertemuan lembaga penerbit sertifikat halal negara OKI pada November 2018, kami juga akan berupaya meminta negara anggota,untuk menyepakati beberapa poin ketentuan halal yang dapat diterapkan dan diterima di masing-masing negara. Langkah ini penting untuk membantu mengurangi hambatan dagang nontarif di antara negara OKI,” katanya.

Adapun, berdasarkan data Kemendag, nilai perdagangan Indonesia dengan negara OKI mencapai US$45,75 miliar pada 2018, naik dari tahun sebelumnya yang mencapai US$41,44 miliar.

Pada tahun lalu, nilai ekspor RI ke negara OKI mencapai US$22,25 miliar. Sementara itu, impornya mencapai US$23,51 miliar. H itu membuat neraca perdagangan RI dengan negara OKI mencatatkan defisit US$1,82 miliar. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper