Bisnis.com, JAKARTA Indonesia akan menetapkan diri sebagai salah satu produsen baterai untuk kendaraan listrik seiring dengan percepatan larangan ekspor bijih nikel kadar rendah pada 2020.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menilai dengan teknologi yang mumpuni, Indonesia sudah mampu memproses dan mengolah nikel kadar rendah. Dalam bijih nikel berkadar rendah, di bawah 1,7 persen tersebut, mengandung kobalt dan lithium sebagai salah satu bahan baku pembuatan baterai.
Sejalan dengan hal tersebut, dengan adanya Peraturan Presiden (Perpres) mengenai kendaraan listrik, kebutuhan baterai akan semakin tinggi.
"Walaupun kadar rendah tetap saja bisa dimanfaatkan," katanya, Senin (2/9/2019).
Dengan terhentinya rekomendasi ekspor bijih nikel pada 2020, pasar domestik diharapkan mulai dapat menyerap produk tersebut. Setidaknya saat ini, sudah ada 11 smelter nikel eksisting dengan kapasitas input 24 juta ton per tahun. Selain itu, ada pula 25 smelter sisanya yang sedang masuk tahap konstruksi.
Dengan target pembangunan smelter hingga 2022, maka pada tahun tersebut akan ada 36 smelter nikel yang beroperasi dengan kapasitas input total 81 juta ton per tahun.
Baca Juga
"Smelter sudah banyak sehingga pemerintah mempertimbangkan ingin mempercepat larangan ekspor bijih nikel," katanya.
Bambang menambahkan meskipun pelarangan ekspor nikel dipercepat, pemerintah tidak akan mengatur harga batas atas maupun batas bawah untuk pasar dalam negeri. Menurutnya, harga bijih nikel di pasar domestik disesuaikan dengan kesepakatan business to business.
"Kayak batu bara ada HBA [harga batubara acuan] kita pernah campur, buktinya jalan aja. Pengelolaan harga kan sudah ditetapkan ada HMA [harga mineral acuan], silahkan sebagai acuan. Tidak ada [harga batas atas batas bawah]," katanya.