Bisnis.com, JAKARTA Keran ekspor bijih nikel kadar rendah yang akan berhenti sampai dengan 31 Desember 2019 menjadi langkah pemerintah untuk menjamin kebutuhan fasilitas pemurnian di dalam negeri.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memerinci total volume cadangan terbukti nikel di Indonesia sebanyak 689,89 juta ton bijih. Dengan kondisi tersebut, suplai fasilitas pemurnian di dalam negeri hanya bisa dijamin sekitar 7-8 tahun.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan rekomendasi ekspor saat ini sudah sangat besar sehingga menjadi bahan pertimbangan lain untuk menghentikan ekspor nikel. Adapun rekomendasi ekspor nikel sepanjang 2017 hingga Juli 2019 mencapai 76,26 juta ton basah.
Bambang menyatakan Indonesia memang memiliki cadangan terkira nikel sebanyak 2,8 miliar ton bijih. Namun, besaran tersebut masih memerlukan eksplorasi lanjutan untuk meningkatkan statusnya dari cadangan terkira menjadi cadangan terbukti.
"Sehingga dengan jumlah cadangan tersebut, kita pikir sampai berapa lama kalau seandainya kita [terus] memberikan izin ekspor?" katanya, Senin (2/9/2019).
Selain itu, pertimbangan lainnya adalah pembangunan smelter yang sudah cukup sehingga kemampuan penyerapan bijih di dalam negeri dianggap sudah tinggi. Saat ini, sudah ada sebanyak 11 smelter eksisting dan 25 smelter nikel yang sedang konstruksi.
Baca Juga
"Smelter sudah banyak sehingga pemerintah mempertimbangkan ingin mempercepat penghentian ekspor nikel," katanya.
Adapun pelarangan ekspor nikel pada awal 2020 nanti akan diatur oleh Peraturan Menteri yang sudah ditetapkan atau ditandatangani Menteri ESDM Ignasius Jonan. Saat ini, peraturan tersebut sedang berada di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk diundangkan.
"Permennya masih diproses di Kemenkumham, nomornya belum tahu, hari ini bisa keluar," katanya.