Bisnis.com, JAKARTA — Sudah 6 bulan asosiasi pengembang mengimbau agar pemerintah menaikkan kuota skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan karena sebelumnya setiap tahun naik 10 persen—20 persen, tetapi tahun ini justru diturunkan.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengatakan bahwa pengembang swasta justru menjadi pendukung utama misi Presiden untuk merumahkan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Junaidi menegaskan bahwa pihaknya siap berorasi dan turun ke jalan jika kuota fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) tidak ditambah karena dampaknya kepada pengembang dan industri turunannya termasuk perbankan besar sekali.
“Apersi siap turun ke jalan untuk minta FLPP ini. Kami akan segera bikin koordinator lapangan kalau permintaan ini tidak juga dikabulkan dalam waktu dekat, supaya jangan diulur-ulur lagi,” katanya ketika ditemui di sela-sela Rapat Koordinasi Apersi, Selasa (27/8/2019).
Apabila sampai Desember tambahan anggaran FLPP tak kunjung turun, Junaidi menegaskan bahwa banyak anggota Apersi dan asosiasi lainnya yang akan tumbang dan bangkrut. “Ini perlu perlindungan dari pemeritah!”
Di Apersi sendiri, jumlah unit yang sudah terbangun, tetapi sudah tidak tertampung oleh FLPP dari 17 daerah ada sekitar 98.000, padahal anggotanya tersebar di 28 daerah.
Baca Juga
Kebutuhannya diperkirakan masih mencapai 100.000 unit lebih, ini belum termasuk dari Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) dan Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra).
“Minggu ini saja sudah ada dua pengembang yang mau menjual asetnya, belum lagi yang tiap hari tanyakan kuota. Jadi, [Kementeria] PUPR harus menjelaskan kuota sebetulnya tinggal berapa. Lalu kalau mau digeser ke BP2BT [bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan] kuotanya cuma 14.000 unit, banyak pula syaratnya, berat sekali buat kami pengembang,” jelasnya.
Sekjen DPP Apersi Daniel Djumali menambahkan bahwa jika berbicara soal rumah subsidi, jika ada 100.000 unit tidak dapat FLPP, artinya ada 100.000 orang gagal terpenuhi kebutuhannya akan rumah. Pembeli bisa meminta uang mukanya kembali dan akan menimbulkan masalah bagi pengembang.
Apersi mengharapkan agar Kementerian PUPR juga tidak hanya menyegerakan proses menambah kuota FLPP, tetapi juga tidak memberi aturan-aturan yang memberatkan pengembang.
“Di kala pasar properti lesu, hanya pasar MBR yang masih jalan. Dengan aturan-aturan yang memberatkan, pengembang MBR tidak bisa bergerak, lalu pasar properti Indonesia mau diapakan?” kata Junaidi.