Bisnis.com, JAKARTA - Puncak musim kemarau yang jatuh pada Agustus hingga September dinilai mempengaruhi produksi cabai. Hal ini dikarenakan, lahan para petani cabai dalam kondisi kering.
Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Dadi Sudiana mengatakan, di sentra produksi di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah mengalami kekeringan. Beberapa daerah memang dalam masa panen, namun hasilnya dianggap tidak mencukupi stok nasional hingga akhir tahun.
"Panen ada di Jawa Timur tapi sebatas mereka yang punya kecukupan air, tidak bisa membantu banyak," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (22/8/2019).
Minimnya stok ini menurut Dadi menyebabkan harga cabai masih tinggi. Saat ini di tingkat petani, harga cabai mencapai Rp20.000-Rp25000/kg. Namun ketika dijual harganya dua kali lipat bahkan lebih.
Harga akan turun drastis pada masa panen mulai Januari hingga puncak panen raya pada Maret 2019. Inilah yang dikawatirkan Dadi dan para petani karena mereka akan merugi.
Menurutnya, naik-turunnya produksi dan harga akan terus berulang jika pola tanam tidak diubah. Mayoritas petani cabai ramai-ramai menanam saat musim hujan, sementara pada musim kemarau mereka terdiam.
"Ini harus dibenahi. Bagaimana pola tanam diatur sesuai dengan tuntutan pasar," tegasnya.
Upaya mengubah pola tanam ini kata Dadi sudah disampaikan pemerintah dengan asosiasi terhadap petani pada awal Agustus lalu. Sayangnya kala itu para petani tidak mampu menghadirkan data mengenai luas lahan dan luas tanam.
Namun pola tanam ini akan terus disosialisasikan kepada petani guna menjaga pasokan tetap aman sepanjang tahun.