Bisnis.com, JAKARTA — Wacana pemerintah untuk mengenakan bea masuk sebesar 20%—25% terhadap produk susu (dairy product) asal Uni Eropa mendapat respons negatif dari pelaku industri makanan dan minuman (mamin) di dalam negeri.
Wakil Ketua Umum Bidang Industri Pangan Strategis Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Juan Permata Adoe meyebutkan, wacana Kementerian Perdagangan tersebut gegabah. Menurutnya, kebutuhan impor produk susu masih sangat besar, terutama dari UE yang menjadi negara asal impor komoditas tersebut terbesar ketiga bagi RI.
“Perlu dicatat, tidak semua produk susu yang berasal dari UE bisa digantikan dari negara lain seperti Australia dan Selandia Baru yang menjadi eksportir produk tersebut ke Indonesia. Produk keju atau skim dari UE memiliki spesifikasi yang berbeda dari negara lain,” ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (13/8/2019).
Dia menambahkan, kebijakan pengenaan bea masuk tambahan tersebut, berpeluang membuat negara pemasok produk susu besar lain dengan mudah memainkan harga produknya.
Pasalnya, ketergantungan Indonesia terhadap negara seperti Australia dan Selandia baru menjadi lebih besar setelah bea masuk yang tinggi ditetapkan kepada produk asal UE.
Adapun, apabila menilik Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.101/2009 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Impor Produk-Produk Susu Tertentu, bea masuk untuk komoditas itu ditetapkan sebesar 5%.
Kebijakan berbeda ditetapkan atas bea masuk produk susu yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru, yang ditetapkan 0%, lantaran adanya pakta kerja sama dagang Asean-Australia, New Zealand Free Trade Area (AANZFTA).
Di sisi lain, Juan mengatakan, produsen susu dalam negeri maksimal hanya bisa memasok sekitar 700.000 ton per tahun dari total kebutuhan dalam negeri tiap tahunnya yang mencapai 4 juta ton.
Hambatan terhadap pasokan dari luar negeri, menurutnya, akan membuat industri terkait menjadi terganggu.
“Pemerintah juga harus melihat, apakah rencana kita menghambat impor produk susu dari UE, akan membuat UE tergerak untuk membebaskan kembali bea masuk biodiesel kita? Jangan-jangan mereka tetap menetapkan BMAS biodiesel dan menambah hambatan baru bagi produk-produk ekspor kita ke UE sebagai balasan kebijakan kita,” katanya.
Sementara itu, Kepala Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan, pemerintah kebijakan pengenaan bea masuk tambahan kepada produk susu asal UE bisa menjadi pilihan terakhir dalam menghadapi ancaman BMAS terhadap biodiesel.
“Menurut saya, Menteri Enggar jangan dahulu keluarkan pernyataan akan berlakukan bea masuk tambahan kepada produk susu dari UE. Sebab, kebijakan pengenaan BMAS terhadap biodiesel belum final. Andaikan sudah final pun, kita lebih baik maju dulu ke dispute settlement body (DSB) WTO lebih dulu,” katanya.
Menurutnya, pengenaan bea masuk tambahan terhadap produk susu tersebut baru dapat dilakukan apabila ditemukan adanya praktik dumping atau subsidi atas komoditas itu di Indonesia. Tanpa adanya temuan terhadap praktik curang tersebut, Indonesia akan sulit mengenakan hambatan dalam bentuk tarif.
Adapun, wacana tersebut diapungkan oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, ketika merespons rencana UE memberlakukan bea masuk antisubsidi terhadap produk biodiesel asal Indonesia.
Seperti dikutip dari Reuters, dia mewacanakan mengenakan bea masuk sebesar 20%—25% terhadap produk berbahab baku susu (dairy product) yang diimpor dari UE.