Bisnis.com, JAKARTA -- Bawang putih menjadi komoditas hortikultura yang boleh dibilang sebagai objek ‘buah bibir’ dan tak pernah kering dari kontorversi sepanjang tahun ini.
Bagaimana tidak? Pada awal tahun, kegaduhan terjadi lantaran pemerintah dalam hal ini Kementerian Koordinator Perekonomian meminta agar Bulog menjadi importir bawang putih untuk mengamankan stok dalam negeri.
Wacana itu pun akhirnya gagal lantaran publik menilai penunjukkan Bulog untuk mengimpor bawang putih merupakan bentuk monopoli. Pasalnya, Bulog tidak diberikan mandat wajib tanam, di tengah banyaknya importir swasta belum mendapatkan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH), lantaran dinilai belum melakukan wajib tanam sesuai ketentuan pemerintah.
Gejolak pun berlanjut, ketika stok bawang putih dalam negeri menipis sehingga pasokan ke pasar terbatas. Tak heran, jika sepanjang Maret--Juni harga komoditas itu melambung tinggi hingga mencapai Rp70.000/kg dari harga normalnya Rp35.000/kg. Harga pun berangsur turun setelah Kementerian Perdagangan menerbitkan izin impor 125.000 ton kepada 11 importir yang telah mendapatkan RIPH dari Kementerian Pertanian.
Kini, kontroversi baru pun muncul. Pada pekan lalu, tepatnya Rabu (7/8/2019), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan kepada 11 orang yang diduga melakukan suap kepada anggota DPR RI.
Suap itu diduga terkait dengan impor bawang putih atau produk hortikultura lainnya.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, otoritas antirasuah telah mengamankan barang bukti penyuapan berupa bukti transfer sebesar Rp2 miliar. Adapun, dari 11 orang yang ditangkap tersebut terdiri dari swasta pengusaha importir, supir, orang kepercayaan anggota DPR RI,
Rentetan peristiwa yang dialami oleh produk umbi-umbian subtropis tersebut, pada akhirnya menimbulkan pertanyaan mengenai tata niaga komoditas itu. Buruknya pengelolaan tata niaga bawang putih dinilai menjadi biang keladi terus terpeliharanya kontroversi komoditas itu.
Ekonom Indef Enny Sri Hartati mengatakan, pengelolaan bawang putih oleh pemerintah sejak awal sudah tidak tepat. Dia menilai, kebijakan pemberian kuota atas impor komoditas tersebut menjadi ujung pangkal rentetan persoalan di sektor perbawang putihan, yang berujung adanya potensi korupsi.
“Bawang putih ini hampir sama dengan kedelai. Lebih dari 90% kita peroleh dari impor. Namun dalam pengadaannya justru diatur dengan cara pemberian kuota impor tiap tahunnya. Di titik itulah, celah bagi para rent seeker mengeruk untung,” ujarnya, kepada Bisnis.com.
Dia menilai, kebijakan pemberian kuota akan membuat para pemilik izin impor dapat mengatur harga dan pasokan bawang putih secara leluasa di dalam negeri. Terlebih, kebutuhan atas komoditas tersebut sangat besar di Indonesia.
Keleluasaan para pelaku usaha untuk mengendalikan pasokan dan harga dari izin impor yang diberikan pemerintah tersebut, membuat banyak pihak ingin memperebutkan hak atas importasi tersebut. Alhasil, lanjut Enny, potensi korupsi demi mendapatkan hak melakukan importasi pun menjadi sangat besar.
Untuk itu, dia pun menyarankan agar pemerintah mengubah kebijakan impor bawang putih dari dikendalikan melalui kuota menjadi menggunakan bea masuk. Hal itu, akan membuat persaingan pasar akan menjadi lebih terbuka dan memperkecil potensi tindakan rent seeking yang melibatkan pejabat dan pengusaha.
“Nah, yang saya belum paham, kenapa suap ini melibatkan anggota DPR yang tidak punya wewenang menentukan kebijakan importasi. Apakah mungkin, suap kepada wakil rakyat ini digunakan untuk merayu mereka agar mau melakukan intervensi ke pemerintah selaku pemegang kendali importasi?” tanyanya.
Pendapat senada pun diungkapkan oleh guru besar Institute Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa. Kegagalan sistem pasar dan pertanian bawang putih dalam negeri, yang diperparah oleh kesalahan penerapan kebijakan oleh pemerintah, membuat tata niaga komoditas itu menjadi amburadul.
“Rangkaian kontroversi di sektor bawang putih ini menandakan ada yang salah dari hulu kebijakan pemerintah. Saya melihat, aturan wajib tanam bawang putih bagi importir untuk mendapatkan RIPH, menjadi ujung pangkal praktik-praktik nakal di sektor ini,” ujarnya.
Dia menilai kebijakan wajib tanam 5% dari kuota impor bawang putih yang diajukan importir, sulit untuk diterapkan. Pasalnya, bawang putih merupakan komoditas subtropis yang harus ditanam di suhu tertentu. Di Indonesia, produk itu hanya bisa di tanam di daerah dataran tinggi yang berada di antara 800--1.300 meter di atas permukaan laut.
Penetapan kuota atas impor bawang putih, juga membuat para importir dapat menentukan harga jual atas produk tersebut secara mudah. Dia menyebutkan, harga bawang putih impor dari China rata-rata hanya mencapai Rp10.000/kg, namun ketika dijual di Indonesia harganya meningkat lebih dari 2 kali lipat, di mana harga normalnya Rp35.000/kg.
“Siapa yang tidak tergiur untuk mendapatkan untung sebesar itu dan bisa menguasai pasar dengan bantuan kebijakan kuota impor oleh pemerintah? Biarkan saja mekanisme pasar berlaku tanpa ada embel-embel wajib tanam dan kuota impor, wong kita hampir 100% impor atas komoditas itu dan karakter alam kita memang tidak bisa memproduksinya secara masal,” tegasnya.
Ketua Komite Tetap Agribisnis Kadin Andi B.Sirang mengatakan, terlambatnya impor bawang putih untuk mengamankan pasokan dalam negeri, membuka fakta baru adanya potensi menggiurkan dari gejolak harga komoditas tersebut.
Dia menyebutkan, para importir nakal memiliki peluang untuk menimbun bawang putih yang diimpornya demi menjaga agar harga di pasar tetap tinggi. Kondisi itu, secara tidak langsung diperkuat oleh kebijakan pemerintah yang mengizinkan impor menggunakan skema kuota.
“Kita sudah tahu, kebutuhan bawang putih tiap tahun itu sekitar stabil di level 550.000 ton. Saya khawatir, importir yang mendapatkan izin impor, menahan pasokannya ke pasar supaya harga naik dulu. Untuk itu mereka bekerja sama dengan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memuluskan tujuannya,” ujarnya.
Untuk itu, dia meminta agar pemerintah memperketat pengawasan kepada para importir dalam beroperasi di dalam negeri. Pasalnya, praktik serupa bisa terjadi kepada komoditas-komoditas pangan lain yang impornya dikendalikan melalui kebijakan kuota.
Dalam hal ini niat pemerintah dalam menerapkan kuota dalam kebijakan importasi sejatinya sudah cukup baik. Namun, kebijakan itu seharusnya ditetapkan sesuai dengan karakter dan kondisi produksi di dalam negeri, seperti pada kasus bawang putih. Jangan sampai, kebijakan yang niatnya baik tersebut justru memunculkan celah bagi praktik ‘rente’ yang akhirnya merugikan masyarakat.