Bisnis.com, JAKARTA -- Indonesia perlu mewaspadai dampak kehadiran China dalam sejumlah pakta dagang yang dijalin dengan negara tersebut, terutama setelah negara tersebut kembali melakukan devaluasi mata uangnya.
Adapun, Indonesia tercatat tergabung dalam Asean-China Free Trade Area (ACFTA) yang sudah mulai diberlakukan sejak 2010.
Di sisi lain, Indonesia juga sedang tergabung bersama 15 negara lain, termasuk China, dalam Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (RCEP) yang ditargetkan selesai negosiasinya pada tahun ini.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, kebijakan devaluasi yuan telah memberikan ancaman serius terhadap impor dari China yang diperkirakan makin membanjiri Indonesia. Kondisi itu berpeluang makin diperparah oleh adanya pakta dagang yang dijalin Indonesia dengan Negeri Panda.
“Sebelum adanya pakta devaluasi yuan, impor nonmigas kita dari China pada 2018 naik 27% secara tahunan. Apalagi nanti ketika ada devaluasi yuan yang akan ditambah pula oleh liberalisasi perdagangan dengan China,” katanya kepada Bisnis.com.
Dia mengatakan dengan adanya penurunan bea masuk impor dari China, seiring terlaksananya ACFTA dan RCEP, harga produk dari negara tersebut yang saat ini sudah murah akan makin murah.
Alhasil, produk asal Indonesia akan cenderung kesulitan bersaing sehingga berdampak buruk terhadap laju pertumbuhan industri nasional.
Indonesia sendiri, menurutnya tidak dapat berbuat banyak dengan situasi tersebut. Pasalnya, apabila Indonesia memilih mundur dari pakta dagang yang melibatkan China, maka akan berisiko lebih besar terhadap keikutsertaan RI dalam rantai pasok global.
Di sisi lain, Indonesia tidak dapat memberlakukan kebijakan tarif untuk membendung laju impor dari China, lantaran berpeluang dipermasalahkan melalui kesepakatan yang ada di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Dengan demikian, lanjutnya, pemberlakukan kebijakan hambatan dagang nontarif seperti wajib standard nasional indonesia (SNI), bisa menjadi salah satu solusi mengurangi tekanan impor dari China.
“Sementara itu, ketika kita akan mengekspor ke China, selain produk mentah, kita juga akan kesulitan apabila negara itu masih melakukan devaluasi yuan. Kendati bea masuk ke negara itu telah turun, harga produk kita akan tetap jauh lebih mahal dari produk di negara tersebut,” jelasnya.