Bisnis.com, JAKARTA -- Perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan, bisa memengaruhi kualitas kredit dan bisnis perusahaan.
Dalam laporan terbaru yang dipublikasikan pada Jumat (2/8/2019), Moody's Investors Service menyatakan perkembangan teknologi mempermudah munculnya video dan gambar palsu yang sengaja dibuat untuk merusak reputasi suatu perusahaan.
"Bayangkan ada video palsu yang sangat realistis yang menampilkan seorang CEO menyampaikan komentar rasis atau membangga-banggakan suatu aksi korupsi," papar AVP-Cyber Risk Analyst Moody's Leroy Terrelonge dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Jumat (2/8).
Serangan disinformasi ini bisa berakibat pada turunnya rating kredit perusahaan terkait.
Moody's menjelaskan dalam jangka pendek, disinformasi jenis ini bisa merusak reputasi perusahaan dan brand. Jika efek negatifnya berlanjut, maka kondisi finansial dan kelayakan kredit jangka panjang perusahaan akan ikut terganggu.
Reputasi yang rusak tentunya memerlukan biaya untuk diperbaiki. Moody's mengutip laporan Fortune pada 2015, yang antara lain menyebutkan bahwa perusahaan dengan reputasi yang sangat baik bisa mendapatkan pembiayaan dengan bunga yang lebih rendah dibandingkan perusahaan lainnya.
Baca Juga
Selain itu, perusahaan dengan reputasi yang buruk bakal kesulitan menarik dan mempertahankan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas.
Menurut studi Harvard Business Review dan ICM Unlimited pada 2016, perusahaan dengan reputasi yang buruk setidaknya memberikan kompensasi 10 persen lebih tinggi untuk tiap pegawainya, di mana sebuah perusahaan dengan 10.000 karyawan mengeluarkan tambahan gaji hingga US$7,6 juta sebagai bentuk kompensasi atas reputasi yang jelek.
Terrelong melanjutkan perkembangan Artificial Intelligence (AI) tidak hanya mempermudah pembuatan gambar atau video palsu, tapi juga mempersulit upaya untuk membuktikan bahwa material tersebut adalah hoaks.
Meski saat ini, upaya-upaya pembuatan dan peredaran konten bohong alias hoaks masih bisa diatasi tapi ke depannya, tantangan yang dihadapi diyakini makin sulit. Apalagi, AI memungkinkan pembuatan gambar, video, atau audio palsu dari bahan yang terbilang minimal.
Moody's memperkirakan nantinya, upaya pembuktian akan makin menantang dan memerlukan teknik forensik yang makin canggih.
Pada Mei 2019, peneliti Samsung AI Center dan Skolkovo Institute of Science and Technology di Moskow, Rusia menunjukkan bahwa mereka bisa menghasilkan tayangan video yang menampilkan seorang individu. Video tersebut sangat realistis tapi sebenarnya palsu, dibuat menggunakan model machine learning tertentu bernama Generative Adversarial Network (GAN).
Hasil dari proses GAN ini disebut deepfakes karena memakai teknik deep learning (pembelajaran mendalam) untuk membuat konten palsu.
Untuk jangka pendek, perusahaan diharapkan terus memantau media sosial dan situs-situs untuk melihat kemungkinan adanya disinformasi serta meminta para penanggung jawab media sosial dan situs terkait untuk menghapus konten palsu yang ada.
Terrelonge menambahkan langkah lain yang dapat dilakukan adalah merilis materi resmi untuk melawan konten palsu tersebut.
"Perlawanan terhadap konten-konten palsu ini membutuhkan kombinasi teknologi dan pendidikan," tegasnya.