Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Moody's: Ekonomi Asia Pasifik Akan Ungguli Tren Global Pada 2025

Perdagangan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi di sebagian besar kawasan Asia Pasifik, tetapi dampaknya tidak merata. Vietnam meraih kinerja terbaik.
Suasana gedung bertingkat di Jakarta, Rabu (26/6/2024). / Bisnis-Fanny Kusumawardhani
Suasana gedung bertingkat di Jakarta, Rabu (26/6/2024). / Bisnis-Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Pertumbuhan ekonomi di wilayah Asia Pasifik pada 2025 diprediksi akan mengungguli tren global. Meski demikian, sejumlah faktor seperti melambatnya pertumbuhan di China dan tensi geopolitik masih membayangi prospek kawasan ini.

Berdasarkan laporan terbaru Moody's Analytics, pertumbuhan ekonomi kawasan Asia-Pasifik diproyeksikan tumbuh sebesar 3,9% pada 2024. Sementara itu, pertumbuhan pada 2025 diproyeksikan sebesar 4% pada tahun 2025, melampaui perekonomian global yang diprediksi pada kisaran 2,6%—2,7%.

"Pertumbuhan di negara-negara maju di kawasan ini akan meningkat pada tahun 2025, mengimbangi momentum perlambatan pada 2025 di negara berkembang di Asia," jelas laporan tersebut.

India diproyeksikan menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbaik pada kawasan ini tahun depan dengan 6,5%, disusul oleh Vietnam dan FIlipina sebesar masing-masing 6,2% dan 6,1%. 

Menyusul di belakangnya adalah Indonesia dengan proyeksi pertumbuhan 4,8% pada 2025 mendatang. Pertumbuhan ini mengungguli China yang diprediksi mencatatkan pertumbuhan 4,6%, sementara itu Malaysia diproyeksikan tumbuh 4,7%.

Dalam laporannya, Moody's memaparkan kondisi perekonomian di Asia Pasifik akan cukup beragam. Pada negara-negara berkembang di Asia, pertumbuhan akan melambat menjadi 5,1% pada 2024 dan 4,9% pada tahun 2025 dari 5,5% pada tahun 2023. 

Momentum perlambatan ekonomi di China akan menjadi faktor utama. Permintaan domestik yang lemah akan membatasi pertumbuhan PDB China menjadi 4,7% pada 2024, jauh di bawah target resmi sebesar 5%. Pada 2025, Moody's memproyeksikan pertumbuhan akan melambat menjadi 4,6%. 

Selain itu, normalisasi pertumbuhan di India akan turut menyeret kinerja kawasan. Setelah pemulihan yang kuat pascapandemi sebesar 7,8% pada tahun 2023, PDB India akan melambat menjadi 7,1% pada 2024 dan 6,5% pada 2025. 

Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Asia Pasifik. / dok. Moody's Analytics
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Asia Pasifik. / dok. Moody's Analytics

Sementara itu, kawasan Asia Tenggara berada dalam kondisi yang lebih baik. Untuk blok Asean, pemulihan pasca-pandemi yang tertunda sebagian besar akan mendukung percepatan pertumbuhan PDB pada 2024 dan 2025.

Adapun, perdagangan telah menjadi pendorong utama pertumbuhan di sebagian besar kawasan Asia Pasifik, namun dampaknya tidak merata. Vietnam telah menjadi negara dengan kinerja terbaik, dengan upaya untuk mendiversifikasi rantai pasokan yang menjadikan negara ini pusat manufaktur. 

Sementara itu, Taiwan dan Korea Selatan juga menikmati pertumbuhan ekspor yang kuat. Moody's menyebut, untuk kedua negara ini, kebangkitan kecerdasan buatan telah mendorong permintaan akan semikonduktor canggih. 

Adapun, booming teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) belum berdampak pada negara-negara Asia Tenggara yang sebagian besar memproduksi chip kelas bawah hingga menengah. 

Sementara itu, ekspor China juga tetap stabil, sementara pertumbuhannya masih berada di rata-rata tingkat pertumbuhan untuk wilayah ini, sebagai eksportir terbesar di dunia, bahkan pertumbuhan satu digit pun mempunyai dampak global.

Di sisi lain, meningkatnya aktivitas ekspor China telah memicu proteksionisme di luar negeri. Tahun ini, banyak negara telah menaikkan tarif panel surya, kendaraan listrik, baja, aluminium, dan ritel bernilai rendah untuk barang-barang buatan China.

Beberapa negara yang menaikkan pungutan kepada China mencakup negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Kanada, serta pasar negara berkembang seperti Brasil, Meksiko, Turki, dan Pakistan. 

Negara lain, termasuk India, Jepang, Inggris, Argentina dan Vietnam, telah meluncurkan penyelidikan anti-dumping. 

Sementara itu, tingkat inflasi harga konsumen di Asia Pasifik terpantau telah mendingin meski masih terjadi gangguan sesekali. Secara umum, inflasi sejalan dengan target bank sentral ataurata-rata sebelum pandemi. 

Namun, risiko-risikonya masih cenderung mengarah pada inflasi yang melebihi batas (overshooting) dan bukannya terlalu rendah (undershooting).

"Sementara itu, harga pangan sedang melonjak dan harga energi berada di atas rata-rata sebelum pandemi. Peningkatan harga komoditas dapat memicu inflasi, mendorong pengetatan kebijakan moneter yang akan sangat membebani wilayah tersebut," jelas laporan tersebut.

Bayang-Bayang Tensi Geopolitik

Tensi geopolitik juga menjadi salah satu faktor yang dapat membebani pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik.

Pemilu di AS memunculkan potensi pergeseran kebijakan ekonomi Negeri Paman Sam. Hal tersebut karena ekspor Amerika Serikat mendorong pertumbuhan di sebagian besar wilayah Asia Pasifik. 

Kemenangan Capres dari Partai Demokrat, Kamala Harris, kemungkinan besar tidak akan mengubah banyak kebijakan-kebijakan yang ada. Sebaliknya, kemenangan Donald Trump kemungkinan akan mengakibatkan tarif yang lebih tinggi dan perselisihan perdagangan yang merugikan perekonomian Asia Pasifik melalui penurunan volume ekspor dan menurunnya kepercayaan diri.  

Adapun, di Eropa, kebangkitan gerakan politik  sayap kanan dalam pemilu baru-baru ini juga menimbulkan kekhawatiran serupa. Hal ini  berpotensi mengarah pada kebijakan yang berfokus pada kepentingan dalam negeri dan mengurangi perdagangan internasional.

"Secara keseluruhan, perekonomian Asia Pasifik maju dua langkah dan mundur satu langkah. Meskipun kinerja wilayah ini lebih baik dari kawasan lain, pertumbuhan masih bertumpu pada fondasi yang tidak stabil," pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper