Bisnis.com, JAKARTA Kalangan petani kelapa yang tergabung dalam Perhimpunan Petani Kelapa Indonesia (Perpekindo) mengharapkan tidak ada wacana pembatasan ekspor kelapa bulat di tengah dorongan untuk mengekspor komoditas perkebunan tersebut dalam bentuk turunan yang memiliki nilai tambah.
Sekretaris Jenderal Perpekindo Muhammad Idrawis mengemukakan salah satu kendala yang masih dihadapi petani kelapa saat ini adalah belum adanya kepastian penampungan dan pemasaran untuk menyerap produksi. Idrawis menyatakan ekspor dalam bentuk mentah merupakan alternatif yang bisa dipilih petani menyusul melimpahnya produksi yang tak terserap kebutuhan dalam negeri.
Menurut data yang dihimpun Perpekindo dari Komunitas Kelapa Asia dan Pasifik (APCC), rata-rata produksi kelapa bulat Indonesia mencapai 15,4 miliar buah setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 13 miliar butir yang diserap konsumsi dalam negeri, sementara sisanya diekspor.
"Kalau di kelapa ini ada lembaga semacam Bulog untuk menyerap dan mengatur distribusi kira-kira bisa tidak? Belum ada yang bisa menjamin apakah produksi kelapa akan habis terserap. Ketika harga rendah pun petani enggan memanen karena tak yakin ada yang menyerap. Kalau bisa, isu-isu larangan ekspor itu jangan sampai ada," tutur Idrawis di Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Ia pun mengharapkan pemerintah dapat menginisiasi perundingan dengan negara tujuan ekspor kelapa guna mencapai kesepakatan tarif. Kelapa asal Tanah Air, lanjut Idrawis, dikenai tarif impor lebih besar dibanding kelapa asal negara produsen lainnya.
"India sebagai negara produsen terbesar kedua kelapa, tarif impor kelapa Indonesia bisa sampai 86 persen karena mereka memproteksi kelapa sendiri. Tetapi kalau dari Thailand 0 persen, ada perjanjian dagang antara kedua negara. Mungkin pemerintah bisa mengakomodasi kemudahan bagi kami, termasuk ke China juga," tuturnya.