Bisnis.com, JAKARTA — Pertumbuhan penjualan industri ritel modern pada tahun ini diperkirakan tidak akan menembus 10% sesuai dengan target yang dicanangkan oleh para pengusaha ritel modern.
Consumer Behaviour Expert dan Executive Director Retail Service Nielsen Indonesia Yongky Susilo mengatakan, pertumbuhan penjualan ritel modern pada tahun ini hanya akan menembus 6% secara tahunan (year on year/yoy). Hal tersebut terjadi lantaran masih adanya pengaruh dari keterpurukan sektor tersebut pada 2018.
“Sejak 2013 sektor ritel kita terpuruk karena pada tahun itu nilai tukar rupiah terdepresiasi tajam sehingga mengganggu daya beli konsumen. Selain itu sejak 2015—2018 pemerintah getol melakukan reformasi struktural, yang berakibat kepada masyarakat menahan daya belinya,” jelasnya kepada Bisnis.com, belum lama ini.
Kondisi negatif tersebut, menurutnya, mencapai puncaknya pada kuartal I/2018 sebelum akhirnya kembali bergeliat mulai kuartal II/2018 hingga saat ini.
Namun, pemulihan tersebut menurutnya belum cukup untuk menggenjot pertumbuhan penjualan dan bisnis ritel modern Indonesia pada tahun ini.
Pasalnya, menurutnya, pada semester I/2019 masyarakat cenderung melihat dan menunggu hasil Pemilihan Umum 2019. Hal itu, berdampak kepada masyarakat yang belum merasa nyaman untuk membelanjakan uangnya pada periode tersebut.
Di sisi lain, dia menyebutkan, pada tahun ini segmen fast moving consumer goods (FMCG) masih akan mencatatkan pertumbuhan yang signifikan, yakni 5% secara yoy. Namun sayangnya, capaian segmen tersebut gagal diikuti oleh segmen lain seperti fesyen dan peralatan rumah tangga.
“Segmen fesyen belum menunjukkan pertumbuhan penjualan yang memuaskan. Selama Lebaran dan Ramadan lalu, masyarakat kelas menengah ke bawah masih dalam periode pemulihan daya beli, sehingga kontribusinya ke penjualan segmen fesyen tidak terlalu baik,” ujarnya.
Menurutnya, periode Ramadan dan Lebaran, seharusnya menjadi momentum puncak penjualan segmen fesyen selama setahun. Mengingat kontribusi penjualan pada periode itu, mencapai 30% dari total penjualan.
Dia pun pesimistis, pesta diskon seperti Indonesia Great Sale (IGS) 2019 dan pesta diskon pada akhir tahun dapat mengompensasi lemahnya penjualan segmen fesyen pada Lebaran dan Ramadan. Yongky menegaskan, persaingan dengan platform dagang elektronik (dagang-el) bukan menjadi penyebab terbesar lemahnya kinerja segmen ritel modern.
Menurutnya, daya beli masyarakat yang masih belum pulih 100% menjadi penyebab terbesar, ritel modern belum dapat tumbuh 10% tahun ini.
“Platform dagang-el dan bahkan leisure economy bukan masalah utama bagi ritel modern. Sebab dua sektor itu sudah tumbuh signifikan dan bersamaan dengan ritel modern selama sedekade terakhir,” ujarnya.
Untuk itu dia menyarankan kepada pemerintah untuk mendongkrak kembali daya beli masyarakat agar dapat berdampak kepada bisnis ritel modern. Hal itu dapat dilakukan dengan menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) dan menaikkan batas tarif pendapatan tidak kena pajak (PTKP).
Penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih luas juga menjadi solusi agar masyarakat mendapatkan kepastian pendapatan, untuk dibelanjakan kembali.