Bisnis.com, JAKARTA - Sejak satu pekan terakhir, jelang panen garam rakyat, petambak di Cirebon Jawa Barat mengeluhkan penumpukan garam di gudang yang tidak terserap meski harga anjlok menjadi Rp300 per kg.
Waji, Sekretaris Jenderal Persatuan Petambak Garam Indonesia, mengatakan kondisi ini menggambarkan tata kelola garam di Indonesia tak mengalami perbaikan.
"Setiap tahun kami harus berhadapan dengan permasalahan harga, iklim, dan impor. Seakan-akan garam rakyat dibiarkan mati di tempat," ujarnya, Jumat (5/7/2019).
Menurut Waji masyarakat patut mempersoalkan hal ini karena permasalah ini tak pernah bisa diselesaikan oleh pemerintah dari waktu ke waktu. Apalagi Pemerintah Indonesia telah menetapkan kuota impor garam untuk tahun 2019 sebanyak 2,7 juta ton.
Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati menyatakan bahwa tata kelola garam di Indonesia semakin hancur karena pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 /2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.
“Inilah regulasi yang secara terang-terangan menghancurkan tata kelola garam nasional setelah sebelumnya Menteri Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 125/2015,” ujarnya.
Susan menggarisbawahi dua persoalan mendasar dalam PP 9/ 2018 yang menghancurkan tata kelola garam nasional, yaitu pertama, Pasal 5 ayat 3 mengenai volume dan waktu impor, ditetapkan berdasarkan hasil rapat koordinasi oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi perekonomian.
Persoalan kedua, Pasal 6 perihal persetujuan komoditas impor, diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan untuk bahan baku dan bahan penolong industri sesuai rekomendasi menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
“Dua pasal ini merupakan bentuk nyata liberalisasi garam nasional atas nama industri. PP 9/2018 ini jelas-jelas bertentangan dengan UU No. 7/2016 Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam,” tegasnya.
Dalam hal tata kelola garam, UU No. 7/2016 memandatkan bahwa pengendalian impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman harus dilakukan melalui penetapan waktu pemasukan.
“Dalam hal ini impor garam tidak boleh dilakukan berdekatan dengan musim panen garam rakyat karena akan berdampak terhadap turunnya harga garam di tingkat masyarakat,” tambah Susan.
Tak hanya itu, lanjut Susan, UU No. 7/2016 memandatkan impor komoditas garam harus mendapatkan rekomendasi dari menteri terkait, dalam hal ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Inilah dua hal yang memurutnya dilanggar oleh PP 9/ 2018.
Menurut Susan, UU telah mengatur persoalan tata garam nasional secara komprehensif, mulai dari perlindungan petambak garam sampai dengan pengendalian impor. Namun Pemerintah pusat justru tidak menjadikan UU ini sebagai pedoman, malah membuat regulasi yang tidak menguntungkan masyarakat.
Sebagaimana tertulis di dalam Pasal 12 UU 7 / 2016, Pemerintah dimandatkan untuk melindungi dan memberdayakan petambak garam dengan cara sebagai berikut: 1) penyediaan prasarana usaha perikanan dan usaha pergaraman; 2) kemudahan memperoleh sarana usaha perikanan dan usaha pergaraman; 3) jaminan kepastian usaha; 4) jaminan risiko penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, dan pergaraman; 5) penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; 6) pengendalian impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman; 7) jaminan keamanan dan keselamatan; 8) fasilitasi dan bantuan hukum; 9) pendidikan dan pelatihan; 10) penyuluhan dan pendampingan; 11) kemitraan usaha; 12) kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; serta 13) penguatan kelembagaan.
“Pada masa yang akan datang, Indonesia harus berdaulat dalam urusan garam. Artinya pemerintah harus kembali kepada UU 7/2016 sebagai aturan main dalam menata pergaraman nasional,” pungkas Susan.