Bisnis.com, JAKARTA - Pertumbuhan permintaan listrik hingga 2028 yang diperkirakan di bawah prediksi membuat sejumlah proyek pembangkit perlu diundur penyelesaiannya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan wajar penyelesaian proyek 35.000 megawatt (MW) mundur. Pasalnya, pertumbuhan permintaan listrik melambat dan tidak sesuai dengan perkiraan pertumbuhan dalam perencanaan awal proyek tersebut, yakni sebesar 7%.
Pihaknya memperkirakan pertumbuhan permintaan listrik PT PLN (Persero) hingga 2028 berada pada kisaran 5,1%-5,3%. Angka tersebut lebih rendah dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN yang masih di atas 6,2%.
"Pemerintah memang perlu kaji ulang karena ada 21 gigawatt [GW] pembangkit yang sedang konstruksi dan diperkirakan sebagian besar akan masuk pada 2021-2023. Apakah memang pada tahun itu ada cukup permintaan listrik untuk menyearap pembangkit yang commisioning?" tuturnya kepada Bisnis, Rabu (3/7/2019).
Dia menilai untuk pembangkit baru setelah 2020, investasinya bisa saja terpengaruh akibat rencana penyelesaian proyek yang terus diundur. Oleh karena itu, perlu dihitung kembali kebutuhan listri per tahun dengan permintaan yang melambat.
Adapun Direktur Pembinaan Program Ketenagalistikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu mengatakan pertumbuhan konsumsi memang listrik tidak setinggi proyeksi awal. Hal tersebut berdampak pada penyelesaian beberapa pembangkit yang harus diundur.
"Ada pergeseran dan sebagian COD [commercial operation date] 35 gigawatt [GW] itu bisa di 2028. Disesuaikan dengan pertumbuhan sistem setempat," ujarnya.