Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengamat Tanggapi Wacana Transportasi Massal O-Bahn Kemenhub

Wacana Kementerian Perhubungan terkait transportasi massal O-Bahn, bus yang dibuatkan lajur dan rel tersendiri, disebut harus tetap menjadi wacana hingga lima tahun ke depan.
Ilustrasi - O-Bahn Busway adalah busway berpemandu yang merupakan bagian dari sistem transit bus cepat. O-Bahn Busway ini memadukan konsep BRT dan LRT dalam satu jalur yang sama./Bisnis-wikipedia
Ilustrasi - O-Bahn Busway adalah busway berpemandu yang merupakan bagian dari sistem transit bus cepat. O-Bahn Busway ini memadukan konsep BRT dan LRT dalam satu jalur yang sama./Bisnis-wikipedia

Bisnis.com, JAKARTA - Wacana Kementerian Perhubungan terkait transportasi massal O-Bahn, bus yang dibuatkan lajur dan rel tersendiri, disebut harus tetap menjadi wacana hingga lima tahun ke depan.

Pengamat Transportasi Unika Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno menentang penerapan teknologi ini di Indonesia dalam waktu dekat.

"Janganlah lakukan ini di Indonesia sekarang. Tatalah angkutan umum berbasis bus yang mudah, murah dan efektif," ungkapnya kepada Bisnis, Senin (24/6/2019).

Dia menilai, pemerintah sampai saat ini masih belum paham makna membuat angkutan umum mudah, murah dan efektif tersebut.

Dia meyakini, wacana O-Bahn ini tidak dapat terwujud dan kalaupun terwujud pasti dapat menimbulkan masalah. Belum lagi biayanya yang pasti mahal.

"Teknologi yang tidak murah, masih asing di Indonesia, butuh waktu menyiapkan prasarana pendukung dan mempelajari teknologinya. Untuk lima tahun ke depan cukup sebagai wacana saja," tegasnya.

Dia menegaskan, pekerjaan rumah pemerintah adalah membuat transportasi umum yang murah dan mudah diselenggarakan, mengingat terbatas keuangan negara dan luasnya wilayah yang harus dilayani.

"Wacana Kemenhub untuk mengoperasikan O-Bahn sebagai transportasi umum untuk mengatasi kemacetan di beberapa kota di Indonesia dengan konsep smart city lebih baik diabaikan saja, karena keterbatasan keuangan negara dan kemampuan fiskal daerah menjadi pertimbangannya," ujarnya.

Selain pertimbangan biaya yang tidak sedikit, belum tentu pemerintah daerah mau menerima konsep tersebut. Apalagi regulasi untuk menerapkannya juga belum ada.

"Carilah yang mudah dan murah, tapi jangkauan layanannya luas dengan subsidinya juga rendah, sehingga banyak wilayah akan terlayani," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper