Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) terus mendorong anggotanya untuk melakukan sertifikasi kayu untuk meningkatkan omzet penjualannya.
Sebelumnya, hasil laporan survei pasar global Forest Stewardship Council (FSC) menunjukkan bahwa mayoritas pemegang sertifikat FSC mendapatkan kemudahan akses pasar dan konsumen baru sebesar 34%.
Purwadi Soeprihanto, Direktur Eksekutif APHI mengatakan proses sertifikasi FSC merupakan instrumen sukarela business to business dan memiliki kredibilitas tinggi di dunia.
"Keberterimaan sertifikat FSC ini cukup luas, tidak mengherankan jika pemegang sertifikat ini dipercaya mampu meningkatkan omzet penjualannya. Oleh karena itu, APHI mendorong anggotanya, selain memenuhi proses sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu [SVLK] juga bisa memperoleh sertifikat FSC," katanya kepada Bisnis, Rabu malam (19/6/2019).
Menurut data APHI, saat ini ada 451 perusahaan kehutanan yang terdaftar sebagai anggota APHI. Perusahaan kehutanan tersebut terdiri atas 259 korporasi pemegang izin pemanfataan hutan alam dan 192 korporasi pemegang izin pemanfaatan hutan tanaman industri.
Tak hanya mendapatkan konsumen dan dapat menyasar pasar baru, hasil survei FSC juga menunjukkan bahwa permintaan sertifikasi kayu oleh perusahaan secara global pada 2018 naik 82% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Baca Juga
Hartono, Country Manager FSC Indonesia, mengatakan bahwa kenaikan permintaan sertifikasi kayu didorong oleh tingginya permintaan dan minat beli konsumen terhadap produk-produk kayu yang sudah tersertifikasi.
“Alasan mereka [korporasi] melakukan sertifikasi menurut survei ini adalah karena tingginya permintaan dari konsumen terhadap produk-produk kayu bersertifikasi,” katanya kepada Bisnis, Rabu (19/6).
Dengan adanya sertifikasi, perusahaan juga mendapatkan keuntungan dengan penambahan nilai produk yang dihasilkan dibandingkan dengan korporasi kayu yang belum bersertifikat. “Salah satu keuntungan mereka dengan tersertifikasi adalah mereka memperbaiki akses pasar," tandasnya.