Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai bahwa pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2019 sangat terbuka untuk dilakukan perubahan, seiring sejumlah target yang diproyeksikan bakal meleset dari asumsi yang dibuat pada tahun ini.
"Sangat terbuka adanya APBN Perubahan," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (16/06/2019).
Sejumlah koreksi, tegas Bhima, harus dilakukan oleh pemerintah, terutama pada asumsi pertumbuhan ekonomi, kurs rupiah dan harga minyak. "Koreksi pada asumsi pertumbuhan ekonomi, kurs rupiah, dan harga minyak, mendesak untuk dilakukan," tegasnya.
Menurutnya apabila tanpa dilakukan revisi pada APBN 2019 ini, dikhawatirkan penerimaan pajak akan mencatat shortfall yang sangat tinggi. "PNBP (penerimaan negara bukan pajak) juga tidak bisa diharapkan karena targetnta overshoot," ujarnya.
Pihaknya menilai bahwa kalau asumsi saat ini tetap dipertahankan, defisit APBN-nya beresiko melebar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyatakan bahwa pihaknya pesimistis sejumlah target yang telah disusun dalam APBN 2019, akan mampu tercapai dengan baik.
Baca Juga
Pasalnya, menurut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut, saat ini sejumlah indikator asumsi makro dalam APBN 2019 diproyeksikan bakal meleset dari asumsi awal.
"Kalau kita melihat APBN 2019 ini dari sisi asumsi makro di mana pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan mengalami tekanan, sehingga terjadi downside risk," ujarnya di sela Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (13/06/2019).
Sementara untuk laju inflasi, pihaknya memproyeksikan masih akan tetap sama sesuai asumsi. "Kurs rupiah dengan asumsi Rp15.000/US$ diperkirakan akan mengalami penguatan dibanding asumsi APBN," ujarnya.
Sedangkan untuk Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan yang sebesar 5,3% dimungkinkan akan sedikit mengalami tekanan, meskipun dirinya menyakini bahwa pada semester kedua 2019 diperkirakan tekanan kenaikan suku bunga global akan berkurang secara drastis.
"ICP (Indonesia Crude Price / patokan harga minyak mentah Indonesia yang sebesar US$70/barel juga diperkirakan akan mengalamai tekanan ke bawah," ujarnya.
Kemudian untuk lifting minyak dan gas, kata Sri Mulyani, keduanya juga diperkirakan tidak akan tercapai atau ada risiko mengalami pencapaian yang lebih rendah dari asumsi.
"Dengan kondisi tersebut, maka akan kita lihat di dalam APBN kita, tekanan terhadap pendapatan negara dan hibah akan terlihat dari sisi perpajakan. Baik yang berasal dari resiko global, penurunan dari ekspor, investasi dan penurunan dari pendapatan perusahaan perusahan yang mengandalkan komoditas," terangnya.
Kemudian dari sisi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga diprediksi mengalami penurunan hingga akhir tahun, karena PNPB masih didominasi dari sumber daya alam.
Sementara itu, dari sisi belanja, tren belanja pemerintah diproyeksikan masih cukup menyesuaikan asumsi awal, yakni realisasi belanja 94%-97% dengan penyerapan belanja diperkirakan 96%-98%. "Untuk defisit 2019 diprediksi masih terkendali, sesuai dengan angka dalam Undang-Undang APBN," ujarnya.
Sri Mulyani menuturkan bahwa berbagai proyeksi tersebut dibuat dengan melihat kondisi lingkungan global saat ini.
Pihaknya melihat bahwa aktivitas ekonomi riil masih mengalami perlemahan akibat tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan partner dagangnya, yang telah menimbulkan dampak negatif, terutama akhir 2018, yang kini masih mengalami eskalasi.
"Dari indeks perdagangan maupun manufaktur global, indeks PMI di negara negara maju semuanya di dalam tren menuju ke bawah. Terutama terjadi pada akhir 2018 dan sekarang masih tetap berlangsung," ujarnya.
Bahkan atas ketidakpastian global yang meningkat itu juga menyebabkan beberapa instansi internasional melakukan revisi proyeksi ekonomi global 2019, seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia.
Pada tahun lalu IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia 3,7%, kemudian direvisi menjadi 3,5% saat memasuki 2019, dan terakhir, IMF kembali menurunkan proyeksinya menjadi 3,3%.
Bank Dunia, beberapa hari lalu merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini hanya menjadi 2,6%, turun 0,3% dari proyeksi sebelumnya.
Menurutnya berbagai penurunan proyeksi tersebut menggambarkan risiko ekonomi global untuk tahun ini telah ter-realize atau telah terjadi dalam bentuk downside risk akibat perang dagang.
Selain itu, faktor lain yang juga memberikan pengaruh adalah masih belum jelasnya Brexit, fluktuasi harga komoditas, serta kondisi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai ekonomi kedua dunia yang mengalami moderasi pertumbuhan ekonominya dan adanya perubahan yang sangat nyata dari sisi iklim geopolitik internasional.
"Ini yang akan menambah resiko besar terhadap perekonomian dan tentu nanti dari sisi kinerja APBN kita," tegasnya.