Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) diminta merevisi aturan ojek online terutama memasukkan tambahan aturan aplikator dalam menerapkan tarif promo yang berlebihan yang mengarah pada praktik predatory pricing (jual rugi) yang terbalut bungkus promo secara terus menerus.
Ekonom Universitas Hasanudin Syarkawi Rauf sekaligus Ketua Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Periode 2015--2018 menilai dua payung hukum yang diterbitkan pemerintah untuk mengatur bisnis transportasi online, masih memiliki celah yang bisa disalahgunakan oleh aplikator.
Dua beleid tersebut adalah Peraturan Menteri Perhubungan No. 12/2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat dan Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) No. 348/2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat Yang Dilakukan Dengan Aplikasi.
Beleid tersebut, terangnya, mengandung ketentuan tarif batas atas untuk melindungi konsumen, serta tarif batas bawah untuk mencegah perang tarif. Namun, tidak diatur soal tarif promosi.
Dia menyayangkan pemerintah tidak mengatur ketentuan pemberlakuan promosi yang bisa diberikan oleh aplikator kepada konsumennya. Pasalnya, melalui tarif promosi dapat memuncul praktik predatory pricing.
Dia meminta Kemenhub merevisi PM No.12/2019 supaya membatasi promo pada batas wajar dan memberikan sanksi bagi aplikator yang terindikasi melakukan promo tidak wajar. Usulannya agar dibuatkan pasal tambahan terkait aturan besaran dan tenggang waktu berlakunya promo.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Kemenhub, Budi Setiyadi menuturkan pemerintah sudah melakukan survei menggunakan dua lembaga terkait dampak aturan baru tersebut, melalui Badan Litbang Kemenhub dan lembaga independen.
Hasil survei menunjukkan ada beberapa evaluasi yang perlu dilakukan oleh Kemenhub terkait aturan PM 12/2019 tersebut.
"Begitu satu minggu kami berlakukan kemudian kita juga ada rapat juga, kita mengundang dari OJK, BI, KPPU kita mengundang juga dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Keempat lembaga yang kita undang ini guna kita rumuskan kembali atau memperkuat kembali terhadap PM 12 yang kita buat," terangnya.
Penguatannya itu terkait beberapa hal yakni penerapan sanksi ketika aplikator tidak menjalankan aturan perlu sanksi yang dapat melibatkan peran dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sanksi tersebut terangnya dapat menyangkut keterlibatan teknologi finansial sebagai sarana pembayaran untuk aplikasi ini.
Kedua, terkait dengan masalah promo atau potongan harga, perlu ada aturan baku yang membahas hal tersebut.
"Dari sekarang juga kami sudah siapkan terhadap wording [penyusunan naskah] baru, revisi baru untuk PM 12 juga termasuk KP 348/2019. Pertama, menyangkut sanksi sudah kami siapkan. Kedua, menyangkut masalah diskon itu juga sudah kami siapkan," tuturnya.
Namun, dia belum dapat bercerita hasilnya, karena revisi beleid ini masih dalam tahap finalisasi.