Bisnis.com, JAKARTA — Laporan bulanan berbasis survei mencakup 19 industri, Purchasing Manager's Index (PMI) ASEAN, menunjukkan produksi sektor manufaktur tumbuh tipis. Secara konsolidasi, PMI ASEAN April naik tipis ke posisi 50,4 dari posisi sebelumnya di level 50,3.
Ekonom IHS Markit David Owen mengatakan kenaikan indeks tersebut mengindikasikan ekspansi sektor manufaktur ASEAN menurun. Pasalnya, walaupun laju tingkat produksi tergolong cepat, kenaikan tersebut masih lemah dibandingkan dengan akhir tahun lalu.
"Kenaikan [pertumbuhan produksi] terpusat di Myanmar dan Thailand, sedangkan semua negara lain mengalami pertumbuhan tingkat rendah atau malah mengalami penurunan," paparnya dalam keterangan tertulis belum lama ini.
Namun demikian, kenaikan PMI tersebut merupakan kenaikan tercepat sejak akhir semester I/2018. Dengan kata lain, terdapat kenaikan optimisme pelaku usaha di ASEAN, khususnya yang terdampak perang dagang Cina-Amerika Serikat yang berkelanjutan.
Filipina terus mencatat kenaikan tingkat sentimen positif, sementara tingkat optimisme terendah terlihat di Myanmar. Adapun, Vietnam mengalami perbaikan kondisi bisnis pada laju yang lebih cepat, yang menempatkannya di posisi kedua. Sementara itu, Myanmar terus memimpin pasar ASEAN dengan kenaikan sektor manufaktur tercepat selama satu tahun.
Secara keseluruhan, perusahaan manufaktur ASEAN mampu menyelesaikan penumpukan pekerjaan pada laju tingkat sedang. Harga input mengalami kenaikan tingkat sedang, meski tingkat inflasi masih rendah dibandingkan rata-rata survei.
Di sisi lain, panelis PMI Asean melaporkan kenaikan harga baja dan minyak, sementara sebagian panelis lainnya mengemukakan kekurangan bahan baku yang menyebabkan tekanan beban biaya.
David mengutarakan para pelaku usaha di Asean sangat berharap agar perundingan perang dagang Cina-Amerika Serikat menghasilkan pengurangan tekanan tarif. Menurutnya, pasar pertumbuhan sektor manufaktur Asean pada kuartal II/2019 akan kuat pada beberapa bulan mendatang.