Bisnis.com, JAKARTA – Selama lima belas tahun terakhir, harga properti hunian di negara berpopulasi padat, terutama di kota-kota metropolitan terus naik hingga rata-rata 6 persen per tahun, dua kali lipat dari total pertumbuhan pendapatan yang rata-rata hanya 2,5 persen.
Berdasarkan riset Jones Lang LaSalle Asia Tenggara, pada 2005-2007, harga hunian di seluruh dunia naik dengan laju paling cepat hingga 23 persen dalam tiga tahun karena adanya perkembangan di dunia pinjaman finansial. Diikuti pada 2008 – 2011 harga rumah naik sampai 15 persen dalam empat tahun.
Kemudian, adanya penurunan kuantitatif dari bank sentral US Federal Reserve dan bank sentral negara lainnya, tingkat pinjaman makin tinggi, terkonsentrasi di bidang real estat, baik dari perseorangan maupun dari institusi yang ingin berinvestasi di properti residensial.
Dengan penurunan suku bunga, biaya layanan/servis dan bunga pinjaman juga turun, membuat harga hunian bisa lebih murah untuk para pembeli sehingga membuat permintaan meningkat. Oleh karena itu, antara 2012 – 2015, harga rumah naik 31 persen dalam empat tahun.
Kenaikan harga rumah tersebut memberikan keuntungan besar bagi kalangan baby boomer dan generasi yang lebih tua karena mereka sudah memiliki rumah dan sudah mengalami kenaikan nilai pada properti residensial yang mereka miliki.
Di sisi lain, kalangan generasi muda kini jadi kesulitan memiliki rumah pertamanya. Hal ini membawa tekanan pada pemerintah di seluruh dunia untuk membantu menyediakan perumahan dengan harga terjangkau kepada masyarakatnya.
Baca Juga
Pemerintah di sejumlah negara sudah memberikan respons dengan meluncurkan aturan seperti menahan laju kenaikan harga rumah di beberapa kota besar negaranya, dengan aturan lebih ketat. Aturan tersebut juga bertujuan mengurangi permintaan dari pembeli rumah kedua dan pembeli asing.
Sebagai respons dari kenaikan harga rumah dan penurunan bunga, pemerintah Singapura menjadi yang pertama memperkenalkan peraturan untuk memastikan harga rumahnya tidak naik terlalu tinggi dan tetap terjangkau untuk pembeli lokal.
Pada 2010 – 2012, pemerintah Singapura memperkenalkan enam aturan berbeda untuk mendinginkan pasar residensial pribadi, yang termasuk kenaikan pajak yang signifikan bagi pembeli asing dan pembeli lokal untuk rumah kedua dan seterusnya, serta tenor pinjaman dan loan to value (LTV) yang lebih singkat.
Di saat yang sama, dengan aturan tersebut pemerintahnya juga mengumumkan adanya kenaikan pasok rumah publik dan pribadi sebanyak 4 persen per tahun. Kemudian, pada 2013, bank sentral Singapura memperkenalkan batasan total rasio pembayaran utang untuk kredit perumahan yang membatasi pembayaran berdasarkan persentasi pendapatan terhadap tingkat bunga.
Selanjutnya, pada 5 Juli 2018, ada tambahan aturan pada sektor perumahan pribadi yang diyakini sebagai response pada kenaikan harga lahan dan nilai per unit mengingat bunga pinjaman untuk investasi residensial juga meningkat.
Head of Capital Markets Research JLL Southeast Asia Regina Lim mengatakan bahwa kebijakan yang dikeluarkan SIngapura membuahkan hasil yang paling bagus dibandingkan dengan negara-negara atau kota-kota besar launnya.
“Harga rumah di Singapura diperkirakan setara dengan pendapatan selama 4,6 tahun pada akhir 2018, lebih rendah dari 6,1 tahun pada 2012,” ungkapnya, dikutip dalam keterangan tertulis, Senin (15/4/2019).
Dengan memiliki kebijakan yang tepat untuk mendukung pengadaan hunian dengan harga terjangkau dan merespons cepat pada kenaikan harga hunian membuat Singapira menjadi nehada dengan harga rumah paling terjangkau dibandingkan dengan negara maju lainnya.
Namun, bagi investor, kebijakan tersebut juga akan memberikan dampak negatif, di antaranya volatilitas harga rumah rendah, pasok bertambah secara perlahan, dan imbal hasil investasi stabil hanya 3 persen – 4 persen per tahun.