Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Di Jawa Bagian Barat, Energi Terbarukan Kurang Dilirik

Ada potensi pembangkit listrik berbabasis EBT di Jawa Bagian Barat, seperti di Rawa Danasi sebesar 100 dan studi soal pembangkit listrik energi bayu di Malimping.
Pekerja berkomunikasi dengan operator alat berat pada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Lontar Extension 1x315 MW di Desa Lontar, Tangerang, Banten, Jumat (29/3/2019)./ANTARA-Muhammad Iqbal
Pekerja berkomunikasi dengan operator alat berat pada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Lontar Extension 1x315 MW di Desa Lontar, Tangerang, Banten, Jumat (29/3/2019)./ANTARA-Muhammad Iqbal

Bisnis.com, JAKARTA — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mengakui keberadaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) relatif lebih andal dan efisien dibandingkan dengan pembangkit berbahan bakar lainnya di regional Jawa Bagian Barat.

Direktur PLN Regional Jawa Bagian Barat Haryanto W S mengatakan pengembangan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan kurang dilirik investor karena tidak masuk keekonomian. Dia mengakui, ada potensi pembangkit listrik berbabasis EBT di Jawa Bagian Barat, seperti di Rawa Danasi sebesar 100 megawatt.

"Sudah ada penunjukkannya kepada salah satu pengembang di Rawa Danau, kemarin sempat habis sekarang diperpanjang kembali oleh pemerintah. Kami usulkan diserahkan saja ke PLN," katanya, pekan lalu.

Selain itu, ada pula studi pembangkit listrik energi bayu di Malimping, Banten Selatan, sekitar 80—100 MW. Untuk potensi solar cell, lanjut Haryanto, pengembangannya tidak akan menarik karena harga tanah di Jawa Bagian Barat terlalu tinggi.

"Yang sekarang berkembang untuk kalangan atas itu adalah rooftop, tapi ini juga jumlahnya terbatas ini hanya masyarakat yang finansialnya kuat," tambahnya.

Di sisi lain, harga produksi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Lontar Extention dengan kapasitas 315 megawatt senilai Rp680 per kilowatt/hour atau jauh lebih murah dibandingkan dengan harga produksi pembangkit menggunakan gas dan minyak.

Haryanto menjelaskan hadirnya PLTU Lontar Extention menjadi salah satu yang termurah karena biaya produksinya senilai Rp680 per kWh. Menurutnya, dengan menggunakan batu bara kalori rendah yang tidak dapat diekspor, ongkos produksi menjadi lebih murah.

"Semakin cepat pembangkit ini beroperasi semakin baik [karena]mengurangi biaya produksi, maka subsidi juga akan semakin turun," katanya.

Ongkos produksi listrik menggunakan gas, seperti yang ada di PLTG Tanjung Priok sebesar Rp1.500 per kWh, sedangkan untuk pembangkit listrik menggunakan solar ongkos produksinya di atas Rp2.200 per kWh.

Dia mengatakan memang keberadaan pembangkit listrik yang menggunakan solar tidak seberapa, tetapi memengaruhi harga yang signifikan.

Secara keseluruhan, PLTU Lontar dengan kapasitas 1.260 MW termasuk dengan beroperasinya Unit 4, memerlukan 1,5 juta ton batu bara per tahun atau 40 tongkang per bulan. Batu bara yang digunakan adalah jenis low rank calory.

"[Terkait polusi] insyaallah daya dukung teknologi masih kuat, kan ada teknologi ultra super critical dioptimalkan," tambahnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper